ASAS-ASAS DAN RUANG LINGKUP ANTROPOLOGI
- FASE-FASE PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI
Fase pertama (Sebelum 1800). Dengan
kedatangan orang Eropa dibenua Afrika, Asia, dan Amerika selama sekitar 4 abad
sejak akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, suku-suku bangsa penduduk pribumi
berbagai daerah dimuka bumi mulai mendapat pengaruh negara-negara Eropa Barat.
Bersamaan dengan itu terbit berbagai macam tulisan hasil buah tangan para
musafir, pelaut, pendeta, pegawai agama Nasrani, penerjemah Kitab Injil, maupun
para pegawai pemerintah jajahan, berupa buku-buku kisah perjalanan, laporan,
dan lain-lain, yang jumlahnya sangat banyak. Dalam buku-buku tersebut kita
dapat menjupai sangat banyak pengetahuan berupa deskripsi tentang
adat-istiadat, susunan masyarakat, bahasa dan ciri-ciri fiik serta
beraneka-warna suku indian, penduduk pribumi benua Amerika. Karena sangat
berbeda dengan keadaannya di Eropa, maka bahan deskripsi yang disebut
“etnografi” (etmos berarti “bangsa”) itu sangat menarik bagi orang Eropa
pada waktu itu. Namun demikian pelukisan-pelukisan yang dibuat pada zaman itu
pada umumnya bersifat kabur dan tidak teliti, dan seringkali hanya
memperhatikan hal-hal yang tampak aneh bagi mereka. Di samping itu tentu ada
tulisan yang baik dan teliti.
Di kalangan kaum terpelajar di Eropa Barat kemudian
timbul 3 askep yang bertentangan terhadap orang-orang Afrika, Asia, Oseania,
dan Indian tersebut, yaitu :
- Anggapan bahwa orang-orang tersebut sebenarnya bukan manusia sungguh-sungguh, melainkan manusia liar keturunan iblis, dan lain-lain, sehinngga timbul istilah-istilah savage dan primitive yang mengacu kepada bangsa-bangsa pribumi itu.
- Pandangan bahwa masyarakat-masyarakat pribumi tersebut merupakan contoh-contoh masyarakat yang masih murni, yang belum mengenal kejahatan seperti yang ada dalam masyarakat bangsa-bangsa Eropa Barat pada waktu itu.
- Pandangan bahwa “keanehan” bangsa-bangsa pribumi itu (adat-istiadatnya, maupun benda-benda kebudayaan) dapat dimanfaatkan untuk dipercontohkan kepada khalayak ramai di Eropa Barat, sehingga timbul museum-museum yang menggelar benda-benda kebudayaan berbagai bangsa di luar Eropa.
Fase
Kedua (Kira-Kira Pertenngahan Abad ke-19). Integrasi yang
sungguh-sungguh baru terlaksana pada pertengahan abad ke-19, dengan terbitnya
karangan-karangan yang bahannya tersusun berdasarkan cara berpikir evolusi
masyarakat, yaitu: Masyarakat dan kebudayaan manusia telah berevolusi sangat
lambat, yakni selama beberapa ribu tahun, dari tingkat-tinngkat yang rendah,
dan melalui beberapa tingkat antara sampai pada tinngkat-tingkat yang
tertinggi. Bentuk dari masyarakat dan kebudayaan manusia dari tingkat yang
paling tinggi itu adalah seperti bentuk masyarakat dan kebudayaan bangsa-bangsa
Eropa, semuanya mereka anggap “primitif”
dan lebih rendah, dan merupakan sisa kebudayaan masa purba. Berdsarkan cara
berpikir itulah semua bangsa didunia
digolongkan menurut berbagai tingkat evolusi. Ketika sekitar tahun 1860 ada
beberapa karangan yang
mengklasifikasikan bahan-bahan mengenai
berbagai kebudayaan didunia dalam
berbagai tingkat evolusi, lahirlah antropologi.
Fase berikutnya terjadi dengan
terbitnya karangan-karangan hasil penelitian mengenai sejarah penyebaran
kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa yang juga masih dianggap sebagai
sisa-sisa kebudayaan manusia kuno.
Dengan penelitian seperti itu orang berharap memperoleh penegtahuan dengan penngertian
tentang sejarah penyebaran kebudayaan manusia. Dengan demikian kita
dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam fase kedua dari perkembangan
antropologi, ilmu itu bersifat akademis, dan tujuannya adalah sebagai berikut:
Mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud mendapatkan
pengertian mengenai tingkat-tingkat kuno
dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia dimuka
bumi.
Fase Ketiga (Awal Abad Ke-20). Pada
awal abad ke-20, sebagian besar negara penjajah di Eropa berhasil memantapkan
kekuasaannya di daerah-daerah jajahan mereka. Sebagai ilmu yang mempelajari
bangsa-bangsa bukan-Eropa, antropologi menjadi kian penting bagi bangsa-bangsa
Eropa dalam menghadapi bangsa-bangsa yang mereka jajah. Disamping itu mulai ada
anggapan bahwa mempelajari bangsa-bangsa bukan-Eropa itu makin penting karena
masyarakat bangsa-bangsa Eropa, dan pengertian mengenai masyarakat yang tidak
kompleks dapat menambah pengertian tentang masyarak yang kompleks.
Ilmu itu terutama berkembang
dissuatu negara yang palinng luas daerah jajahannya, yaitu inggris, tetapi juga
dihampir semua negara kolonial lainnya. Amerika Serikat yang bukan negara
kolonial, tetapi yang aneh mengalami berbagai masalah dengan penduduk
pribuminya, yaitu suku-suku bangsa Indian, kemudian juga terpengaruh oleh ilmu
yang baru itu.
Dalam fase ketiga ini antropologi
menjadi suatu ilmu yang praktis, yang tujuannya adalah mempelajari masyarakat
dan kebudayaan suku-suku bangsa diluar Eropa guna kepentingan pemerintah
kolonial dan guna mendapat pengertian tentang masyarakat modern yang bersifat
kompleks.
Fase Keempat (Sesudah Kira-Kira
1930). Dalam
fase ini antropologi berkembang sangat luas, baik dalam hal ketelitian bahan pengetahuannya maupun ketajaman metode-metode ilmiahnya.
Disamping itu, ketidaksenangan terhadap kolonialisme dan gejala makin
berkurangnya bangsa-bangsa primitif (yakni bangsa-banngsa asli yang terkucil
dari pengaruh kebudayaan Eropa-Amerika) setelah Perang Dunia II, menyebabkan
bahwa antropologi kemudian seakan-akan kehilangan lapangan, dan terdorong untuk mengembangkan lapangan-lapangan penelitian
dengan pokok dan tujuan yang berbeda. Warisan dari fase-fase perkembangannya
yang semula (fase pertama, kedua, dan kketiga), yang berupa bahan etnografi
serta berbagai metode ilmiah, tentu tidak dibuang demikian saja, tetapi
digunakan sebagai landasan bagi perkembangannya yang baru. Perkembangan itu
terutama terjadi diuniversitas-universitas Amerika Serikat, dan setelah tahun
1951 menjadi umum di negara-negara lain, ketika 60 orang tokoh antropologi dari
berbagai negara Amerika dan Eropa (termasuk tokoh-tokoh dari Uni Soviet pada
waktu itu) mengadakan simposium internasional guna meninnjau serta merumuskan
pokok tujuan maupun ruang lingkup antropologi.
Pokok atau sasaran penelitian para ahli antropologi sudah sejak tahun 1930 bukan lagi suku-suku bangsa
primitif bukan Eropa lagi, melahirkan telah beralih kepada penduduk pedesaan
pada umumnya, baik mengenai keanekaragaman fisiknya, masyarakatnya, maupun
kebudayaannya. Juga suku-suku bangsa daerah pedesaan Eropa dan Amerika (misalnya suku-suku bangsa Scami, Flam, Lapp,
Albania, dan Irlandia di Eropa, serta masyarakat Middletown dan Jonesville di
Amerika) menjadi sasaran penelitian mereka.
Antropologi gaya baru ini dalam fase
perkembangannya yang keempat ini mempunyai dua
tujuan, tujuan (1) tujuan
akademis dan (2) tujuan praktis. Tujuan
akademisnya adalah untuk mencapai
pengertian tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari berbagai bentuk fisiknya, masyarakatnya,
maupun kebudayaan. Karena dalam kenyataan antropologi umumnya mempelajari
masyarakat suku bangsa, maka tujuan praktisnya adalah mempelajari manusia dalam
beragam masyarakat suku bangsa guna
membangun masyarakat suku bangsa tersebut.
2. ANTROPOLOGI
MASAKINI (IKA)
Perbedaan-Perbedaan
Di Berbagai Pusat Ilmiah. Uraian
mengenai keempat fase perkembangan diatas perlu untuk memperoleh pengertian
tentang tujuan dan ruang lingkupnya. Sifatnya yang dapat dikaitkan muda (yaitu
hanya sekitar satu setengah abad) menyebabkan bahwa tujuan dan ruang lingkupnya
masih menjadi bahan perbedaan dan adanya berbagai aliran. Secara kasar
aliran-aliran dalam antropologi dapat digolongkan berdasarkan universitas tempat ilmu itu berkembang (yaitu
terutama di Amerika Serikat, Inggris, Eropa Tengah, Eropa Utara, Rusia, Jepang,
dan negara-negara berkembang).
Di Amerika Serikat serta Meksiko,
antropologi telah menggunakan serta mengintegrasikan semua bahan dan metode
antropologi fase pertama, kedua, dan ketiga, maupun berbagai spesialisasi yang
telah dikembangkan secara khusus guna menda patkan pengertian tentang dasar-dasar dari
keanekagaraman wujud masyarakat dan kebudayaan manusia yang ada sekarang. Dengan
demikian, universitas-universitas di Amerika Serikat merupakan tempat dimana dalam fase keempatnya
antropologi telah berkembang paling luas.
Di Inggris dan negara-negara
persemakmuran seperti Australia, antropologi dalam fase ketiga masih dilakukan.
Namun dengan hilangnya daerah-daerah jajahan Inggris, sifatnya tentu juga
berubah. Pada waktu Papua Niugini dan Kepulauan Melanesia masih merupakan
daerah-daerah jajahannya, suku-suku bangsa asli dikawasan tersebut dipelajari
guna keperluan pemerintah setempat. Setelah daerah-daerah itu merdeka, berbagai
masalah mengenai dasar-dasar masyarakat dan kebudayaan manusia pada umumnya
menjadi perhatian para sarjana Inggris. Metode-metode antropologi yang telah
dikembangkan di Amerika Serikat kemudian mulai
pula mempengaruhi berbagai lapangan penelitian para ahli antropologi
Inggris.
Di Eropa Tengah, seperti di Jerman,
Belanda, Perancis, Austria, dan Swiss, pada awal tahun 1970-an saja antropologi
masih bertujuan mempelajari bangsa-bangsa di luar Eropa guna mendapatkan pengertian tentang sejarah penyebaran
kebudayaan umat mmanusia di bumi, sehingga antropologi di neggara-negara tersebut
pada waktu itu berada pada fase kedua. Walaupun demikian, generasi muda ahli
antropologi di Jerman Barat dan Swiss kini telah banyak menerima pengaruh dari
Amerika.
Di Eropa Utara, yaitu di
negara-negara Skandinavia, antropologi sebagian bersifat akademis, seperti
halnya di Jerman dan Austria. Mereka juga mempelajari banyak daerah dil luar
Eropa, terutama kebudayaan suku0sukuu bangsa Eskimo. Di samping itu mereka juga
menggunakan metode antropologi yang dikembangkan di Amerika Serikat.
Perkembangan antropoologi di Rusia
tidak banyak dikenaal, karena negara itu hingga tahun 1960-an sangat tertutup.
Walaupun demikian, beberapa tulisan
mengenai perkembangan antropologi di Uni Soviet menunjukan bahwa penelitian
antropologi sangat giat dilakukan. Pada waktu antropologi dinegara itu
didasarkan pada konsep K. Marx dan F. Engels mengenai tingkat-tingkat evolusi
masyarakat, dan hanya dianggap sebagi bagian dari ilmu sejarah, yang mengkhusus
kepada soal asal-mula, evolusi, serta penyebaran kebudayaan bangsa-bangsa
didunia. Selain bidang teori itu, antropologi di Rusia juga melakukan
kegiatan pengempulan bahan tentang
beragam bentuk masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa negara tersebut,
serta memamerkannya untuk mengembangkan saling pengertian diantara suku-suku
bangsa penduduk negara itu. Selain itu, berbagai buku ikhtisar tentang
kebudayaan suku-suku bangsa penduduk pribumi benua-benua lain telah disusun
oleh para ahli antropologi Rusia, yang seluruhhnya diberi judul Narody Mira (“Bangsa-Bangsa Di Dunia”). Dengan demikian
ada buku-buku mengenai suku-suku bengsa Afrika, Oseania, Asia dan Asia Tenggara
(termasuk indonesia) dalam bahasa Rusia.
Di negara-negara bekas jajahan
Inggris, terutama di India, metode-metode antropologi banyak dipengaruhi oleh
berbagai aliran yang berasal dari Inggris. Di India, antropologi mendapat fungsi yang sangat
praktis untuk mendapatkan pengertian mengenai hubungan masyarakatnya yang
sangat beragam, dan untuk menjalin hubungan antara berbagai golongan
penduduknya. Suatu hal yang sangat menarik adalah bahwa dinegara itu antropolgi
dan sosiologi telah menjadi satu dan merupakan suatu ilmmu sosial yang baru.
Dalam suatu negara seperti India, masalah nasional dan masalah perkotaan sangat
erat kaitannnya dengan masalah-masalah pendesaan.
Di Indonesia sekarang telah mulai
dikembangkan suatu ilmu antropologi yang khas Indonesia. Kita beruntung bahwa
dalam menentukan dasar-dasar dari antropologi Indonesia, kita belum terikat
oleh suatu tradisi sehingga kita masih dapat memilih serta mengkombinasikan
berbagai unsur dari aliran yang paling ssesuai yang telah berkembang di
negara-negara lain, dan diselarasskan dengan masalah kemasyarakatan di
Indonesia. Konsepsi mengenai batass-bats lapangan penelitian antropologi serta
pengintegrasian dari semua metode antropologi dapat kita contoh dari Amerika;
penggunaan antropologi sebagai suatu ilmu praktis untuk mengumpulkan data
tentang kehidupan masyarakat dan kebudayaan berbagai suku bangsa yang
bereda-beda, dan kemudian memamerkannya untuk memeperoleh saling pengertian
antar berbagai suku bangsa itu, dapat kita contoh dari Rusia; penggunaan
antropologi sebagai ilmu praktis unntuk mengumpulkan data tentang
kebudayaan-kebudayaan daerah dan masyarakat pedesaan guna menemukan dasar-dasar
bagi suatu kebudayaan nasional dengan kpribadian yang khas dan dapat digunakan
untuk membangun masyarakat desa yang modern, dapat kita contoh dari Meksiko;
antropologi sebagai ilmu praktis yang bersama dengan sosiologi dapat membantu
memecahkan masalah-masalah sosial budaya dan merencanakan pembangunan nasional,
dapat kita contoh dari India.
Perbedaan-Perbedaan Istilah. Sampai
sekarang diberbagai negara masih digunakan istilah-istilah yang berbeda-beda,
sehingga disini perlu kiranya diterangkan dimana istilah-istilah yang
bersangkutan lazim dipakai, dengan artinya masing-masing.
Ethnography yang diartikan
sebagai “pelukisan (deskripsi) tentang bangsa-bangsa”, digunakan secara umum di
Eropa Barat untuk menyebut bahan keterangan
yang ada dalam tulisan-tulisan tentang masyarakat dan kebudayaan
suku-suku bangsa bukan-Eropa maupun untuk metode-metode yang digunakan untuk
mengumpulkan dan mengumumkan bahan-bahan tersebut. Sampai sekarang istilah itu
masih lazim dipakai untuk menyebut bagian dari antropologi yang bersifat
deskriptif.
Voelkerkkunde dalam bahsa
Jerman, atau volkenkunde dalam bahasa Belanda, adalah istilah untuk
“ilmu bangsa-bangsa”, dan terutama dipergunakan di Eropa Tengah sampai
sekarang.
Kulturkunde berarti “ilmu
kebudayaan”. Istilah ini pernah dipakai sarjana antropologi Jerman L.
Frobenius, dalam arti yang sama seperti ethnology di Amerika. Ahli lain
yang pernah menggunakannya adalah G.J. Held, yang pernah menjadi guru besar di
Universitas Indonesia. Dalam bahasa Indonesia istilah Kulturkunde menjadi
“ilmu kebudayaan”, yang sekarang tak pernah digunakan lagi.
Anthropology atau “ilmu
tentang manusia” adalah suatu istilah yang pada awalnya mempunyai makna yang
lain, yaitu “ilmu tentang ciri-ciri tubuhh manusia”. Dalam fase ketiga
perkembangan antropologi, istilah ini terutama mulai dipakai di Inggris dan
Amerika dengan arti yang sama seperti ethnology pada awalnya. Di
Inggris, istilah anthropology kemudian malahan mendesak istilah ethnology,
sementara di Amerika athropology mendapat pengertian yang sangat
luas karena meliputi bagian-bagian fisik maupun sosial dari “ilmu tentang
manusia”. Di Eropa Barat dan Eropa Tengah istilah anthropology hanya di
artikan sebagai “ilmu tentang ras-ras manusia dipandang dari ciri-ciri
fisiknya”.
Cultural anthropology akhir-akhir
ini terutama digunakan di Amerika, tetapi kemudian digunakan juga di
negara-negara lain untuk bagian dari anthropologi yang tidak mempelajari physical
anthropology, yaitu yang secara khusus mempelajari tubuh manusia.
Universitas Indonesia secara resmi memakai istilah “antropologi budaya” untuk
menggantikan istilah G.J. Held, “ilmmu kebudayaan”.
Social anthropology dipakai
di Inggris untuk fase ketiga antropoologi, untuk membedakannya dari ethnology,
yang di negara itu dipakai untuk fase-fase pertama dan kedua ilmu itu. Di
Amerika, tempat segala macam metode yang saling bertentangan diselaraskan, social
anthropology dan athnology merupakan dua sub-bagian dari
antropologi, seperti yang akan diuraikan di bawah nanti.
3. ILMU-ILMU
BAGIAN DARI ANTROPOLOGI
Lima Ilmu Bagian. Di
universitas-universitas Amerika, tempat antropologi telah mencapai perkembangan
yang paling luas, ruang lingkup dan batas lapangan perhatian yang luas itu
menyebabkan adanya tidak kurang dari lima masalah penelitian khusu, yaitu :
- Masalah sejarah asal dan perkembangan manusia (atau evolusinya) dipandang dari segi biologi;
- Masalah sejarah terjadinya berbagai ragam manusia, dipandang dari ciri-ciri tubuhnya;
- Masalah sejarah asal, perkembangan, serta penyebaran berbagai macam bahasa di seluruh dunia;
- Masalah perkembangan, penyebaran dan terjadinya beragam kebudayaan di dunia;
- Masalah mengenai asas-asas kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat-masyarakat suku bangsa di dunia.
Lapangan-lapangan penelitian yang
bermaksud memecahkan kelima masalah tersebut diatas sangat luas sehingga untuk
setiap masalah (yang merupakan ilmu bagian dari antropologi) diperlukan
ahli-ahli yang khusus dengan penjurusan khusus pula. Dengan demikian pembagian
antropologi adalah sebagai berikut:
PaleoantropologiAntropologi
fisik
|
keduanya
disebut “antropologi fisik dalam arti luas”
|
Ketiganya
disebut “antropologi budaya” atau “antropologi sosial”
Prasejarah atau “antropologi sosial”
|
Etnolinguistik
Prasejarah Etnologi
|
Paleontropologi adalah ilmu bagian yang meneliti
asal-usul atau terjadinya serta evolusi mannusia, yang menggunakan sisa-sisa
tubuh yang telah membantu (fosil manusia) yang ditemukan dalam lapisan-lapisan
bumi sebagai bahan untuk penelitiannya.
Antoropologi fisik dalam arti khusus
adalah bagian dari antropologi yang mencoba memahami sejarah terjadinya beragam
makhluk manusia berdasarkan perbedaan ciri-ciri tubuhnya, dengan bahan
penelitian berupa ciri-ciri tubuh yang tampak lahir, atau fenotipik (seperti misalnya
warna kulit, warna dan bentuk rambut, indeks tengkorak, bentuk muka, warna
mata, bentuk hidung, tinggi dan bentuk tubuh), maupun ciri-ciri tubuh yang
“dalam”, atau genotipik (seperti misalnya frekuensi golongan darah). Dengan
cara itu manusia dapat dikelompokkan ke dalam berbagai golongan tertentu (yaitu
ras) berdasarkan persamaan ciri-ciri tubuh tertentu yang terdapat pada sebagian
besar individu. Paham mengenai berbagai ras itu dicapai dengan
mengklasifikasikan beragam ciri tubuh manusia itu. Bagian dari antropologi ini
seringkali disebut antropologi fisik dalam arti khusu, atau somatologi.
Ethnolinguistik, yang juga disebut
antropologi linguistik, adalah suatu ilmu bagian yang pada awalnya erat
berkaitan dengan antropologi. Dari bahan penelitiannya yang berupa datar
kata-kata dan deskripsi tentang ciri dan tata bahasa dari beratus-ratus bahasa
suku bangsa diberbagai tempat dimuka bumi, maupun bahan kebudayaan suku bangsa
berkembang berbagai metode analisa kebudayaan dan metode untuk mennganalisa serta
mencatat bahasa-bahasa yang tidak mengenal tulisan. Semua bahan dan metode
tersebut sekarang telah terolah dalam ilmu linguistik umum. Walaupun demikian, ilmu etnolinguistik
diberbagai pusat ilmiah didunia masih berkaitan erat, dan bahkan menjadi bagian
dari antropologi. Di Indonesia etnolinguistik (yang menjadi bagian dari linguistik) mempelajari puluhan bahasa
yang ada di Nusantara.
Prasejarah mempelajari sejarah
perkembangan dan penyebaran semua kebudayaan
manusia sebelum manusia mengenal tulisan. Dalam ilmu sejarah,
perkembangan kebudayaan umat manusia yang dimulai sejak saat munculnya makhluk
manusia didunia sekitar 800.000 tahun yang lalu hingga sekarang, dibagi kedalam
dua bagian, yaitu (1) sebelum manusia mengenal tulisan, dan (2) setelah manusia
mengenal tulisan. Batas antara kedua kurun waktu itu tidak sama diberbagai
tempat atau kebudayaan. Kebudayaan Mesir, misalnya, adalah kebudayaan tertua
yang mengenal tulisan (yaitu sejak sekitar 4.000 tahun S.M); kebudayaan minoa
yang kita dapati bekas-bekasnya di Pulau Kreta; mengenal tulisan sekitar 3.000
tahun S.M; demikian pula kebudayaan Yemdet Nasr yang berlokkasi di Irak
Selatan, atau kebudayaan Harapa-Mohenjodaro, yang berlokasi didaerah Sungai
Sindu di Pakistan. Sebaliknya, ada kebudayaan yang mengenal tulisan sejak
sekitar 100 tahun S.M, sementara banyak pula yang baru mengenal tulisan pada
abad ke-20 ini. Suatu bangsa yang tidak mengenal tulisan tentu tidak dapat
menyatakan kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan kebudayaan
serta masyarakatnya dalam tulisan. Dengan demikian bangsa tersebut tidak dapat
meninggalkan sumber-sumber tertulis kepada kita yang mempelajari sejarah
perkembangan kebudayaannya. Sebaliknya, suatu bangsa yang telah mengenal
tulisan dapat mencatat semua peristiwa dalam kehidupan masyarakat dan
kebudayaannya dalam buku-buku serta dalam tulisan-tulisan lain, dan dengan
demikian kita dapat memperoleh sumber-sumber keterangan tertulis mengenai
bangsa tersebut. Zaman sebelum suatu bangsa mengenal tulisan dalam ilmu
pengetahuan disebut zaman prehistori, atau prasejarah (sebelum sejarah), sedang
zaman sesudah suatu bangsa mengenal tulisan disebut zaman histori, atau
sejarah. Ilmu yang mempelajari zaman prasejarah adalah sub-ilmu prasejarah,
sedang zaman histori dipelajari oleh ilmu sejarah. Bahan penelitian ilmu
prsejarah adalah bekas-bekas kebudayaan seperti benda-benda serta alat-alat
(artefak) yang tersimpan dalam lapisan-lapisan bumi.
Sub-ilmu prasejarah seringkali juga
dinamakan ilmu arkeologi, namun dengan arti yang berbeda dari arkeologi di
Indonesia, dimana arkeologi diartikan sebagai sejarah kebudayaan dari zaman prasejarah di Indonesia, yang
dilanjutkan sampai masa jatuhnya negara-negara Indonesia-Hindu dan lenyapnya
kebudayaan Indonesia-Hindu. Ilmu prasejarah di Indonesia masih sangat muda, dan
baru dimulai sekitar tahun 1920, dengan penelitian-penelitian para pendekar
ilmu tersebut, yaitu A.J.J.T.a. T. van der Hoop dan C.T. van Stein Callenfels.
Sekarang ini ilmu prasejarah Indonesia secara resmi menjadi bagian dari ilmu
arkeologi Indonesia, dan sebelum pernah dihubungkan dengan antropologi Indonesia, sehinngga berbeda
dengan keadaannya di universitas-universitas negara-negara lain, ilmu
prasejarah Indonesia tidak merupakan ilmu bagian dari antropologi.
Etnologi adalah ilmu bagian yang
mempelajari asas-asas manusia, dengan
cara meneliti sejumlah kebudayaan suku bangsa yang tersebar di seluruh
dunia. Akhir-akhir ini dalam sub-ilmu etnologi berkembang dua golongan penelitian,
yaitu (a) golongan yang memberi perhatian khusus pada bidang diakronik, dan (b)
golongan yang lebih memperhatikan bidang sinkronik dari kebudayaan manusia.
Nama yang telah mantap bagi kedua jenis penelitian ini belum ada, dan
serinngkali kita jumpai istilah ethnology (dalam arti khusus) untuk
penelitian-penelitian diakronik, dan social anthropology untuk
penelitian-penelitian sinkronik.
Sejak tahun 1920-an, telah
berkembang beberapa ilmu bagian yang baru, yang pada awalnya diterapkan pada
pembangunan masyarakat desa, dan berkembang ke masalah ekonomi dan kesehatan
rakyat di pedesaan, masalah kependudukan, dan lain-lain, sehingga berkembanglah
berbagai spealisasi lain.
Sejak kira-kira waktu yang
bersamaan, di Amerika Serikat, tetapi juga di Inggris, penelitian-penelitian
antropologi mulai menggunakan banyak konsep psikologi dalam analisinya, karena
timbulnya perhatian terhadap (1) kepribadian bangsa, (2) peranan individu dalam
proses perubahan adat-istiadat, dan (3) nilai universal dari konsep-konsep
psikologi.
Masalah mengenai kepribadian bangsa
muncul ketika hubungan antarbangsa mulai makin erat, terutama sesudah Perang
Dunia I. Sebelumnya, masalah kepribadian bangsa-bangsa di daerah-daerah jajahan
juga telah mulai diperhatikan oleh negara-negara Eropa yang bersangkutan,
tetapi konsep-konsep serta istilah-istilah dalam karangan-karangan etnografi di
zaman itu umumnya kurang cermat dan kasar. Deskripsi yang ditulis oleh orang
Belanda mengenai kepribadian suku bangsa Jawa antara lain adalah bahwa orang
Jawa pemalas, tidak bergairah dalam melakukan sesuatu hal (Indolent), dan
tidak jujur. Selain ciri-ciri kepribadian negatif seperti itu, konsep-konsep
yang digunakan juga tidak cermat. Istilah “tidak jujur”, misalnya, bila dilihat
dari segi ilmu psikologi tentu tidak memenuhi syarat.
Sadar akan kekurangan ini, beberapa ahli antropologi
sekitar tahun 1920 mengupayakan membuat deskripsi mengenai kepribadian bangsa
dengan cara yang lebih teliti, dan berupaya mencari tahu mengenai ada atau
tidaknya masalah kepribadian bangsa. Dalam kenyataan tentu ada orang Jawa yang
tidak malas, yang jujur, yang lincah dan bergairah dalam sesuatu hal, sehingga
perlu diketahui bagaimana menentukan ciri suatu bangsa atau suku bangsa, dan
sebatas mana terkecualian mengenai kepribadian
umum yang dimiliki individu-individu warga suatu bangsa atau suku bangsa
itu mungkin. Untuk mempelajari masalah-masalah itu tentu diperlukan pengetahuan
tentang ilmu psikologi dan konsep-konsep serta teori-teori yang dikembangkan
ilmu itu.````````
Sekitar tahun 1920 itu, masalah peranan individu dalam
proses perubahan adat-istiadat juga mulai banyak dipelajari di Amerika Serikat,
dengan timbulnnya perhatian terhadap proses-proses perubahan kebudayaan. Di
zaman sebelumnya mereka hanya memperhatikan serta mencatat adat-istiadat serta
tingkah laku yang lazim dianut dan
dijalankan oleh warga masyarakat yang menjadi obyek penelitian mereka,
sementara tindakan-tindakan individu yang menyimpang dari adat-istiadat mereka
abaikan. Kemudian mereka menyadari bahwa justru penyimpangan seperti itulah
yang merupakan awal dari suatu proses perubahan kebudayaan. Dengan menerapkan
konsep-konsep serta teori-teori psikologi, para ahli antropologi itu dapat
memahami segala tinkah laku dan tindakan individu-individu tersebut.
Namun perhatian terhadap bangsa-bangsa bukan-Eropa
yang memerlukan pemahaman dalam berbagai konsep dan teori psikologi, akhirnya
membuat para ahli antropologi ragu dan mempertanyakan apakah semua konsep dan
teori psikologi yang telah dikembangkan itu juga berlaku bagi orang yang hidup
diluar lingkungan masyarakat Eropa dan Amerika. Konsep “gejolak batin masa
remaja” yang dianggap sebagai suatu gejala yang penting dalam masa pertumbuhan
seorang remaja di suatu masyarakat kota di Eropa dan Amerika, misalnya, menurut
pengamatan sementara ahli antropologi tidak pernah dialami para remaja dalam
masyarakat penduduk Samoa. Oleh karena konsep psikologi tersebut tidak memiliki
nilai universal, konsep-konsep dan teori-tori psikologi yang memang lahir dalam
masyarakat Eropa dan Amerika dan kemudian mendapat kecaman para ahli
antropologi itu, lalu lebih dipertajam.
Kompleks kajian-kajian antropologi
yang menggunakan psikologi sekarang dianggap sebagai suatu sub-ilmu (atau
spesialisasi) yang disebut etnopsikologi, antropologi psikologi, atau studi
kebudayaan dan kepribadian.
Spesialisasi Dalam
Antropologi. Pengkhususan yang dilakukan dalam penelitian-penelitian
terhadap masalah-masalah praktis dalam masyarakat belum lama berkembang.
Walaupun hasil-hasil penelitian antropologi sudah lama diterapkan negara-negara
Eropa di daerah jajahan-jajahan mereka di Asia, Afrika dan Oseanisa, suatu
sub-ilmu antropologi pembangunan masyarakat baru secara sadar dikembangkan
sesudah ada ilmu etnopsikologi. Memang, sejak kira-kira tahun 1930, dengan
menggunakan metode-metode antropologi, ahli antropologi inggris R. Firth mulai
meneliti gejala-gejala ekonomi pedesaan, penumpukan modal, pengerahan tenaga,
sistem produksi, serta pemasaran hasil pertanian dan perikanan dilakukan secara
lokal di Oseania dan Malaysia. Metode penelitian Firth ini kemudian diikuti
oleh para muridnya maupun para ahli antropologi lain, dan dengan demikian telah
berkembang spesialisasi antropologi yang pertama, yaitu antropologi ekonomi.
Baru setelah Perang Dunia II muncul berbagai
spesialisasi antropoologi lainnya, yang berkembang dalam rangka pembangunan
negara-negara berkembang. Pusat-pusat ilmuiah di negara-negara Eropa dan
Amerika yang banyak menamakann modal di negara-negara berkembang mulai menaruh
perhatian pada proses-proses serta proyek-proyek pembangunan di negara-negara
berkembang tersebut. Dengan demikian, banyaklah penelitian mengenai masalah
pengumpulan modal lokal, masalah teaga pekerja pribumi, sistem produksi dan
pemasaran lokal, dan lain-lain, mendorong bekembangnya sub-ilmu antropologi
ekonomi.
Spesialisasi antropologi lain yang
berkembang kemudian adalah antropologi pembangunan yang menggunakan
metode-metode, konsep-konsep, dan teori-teori antropolgi untuk mempelajari
masalah-masalah yang menyangkut pembangunan masyarakat desa, masalah sikap
petani terhadap teknologi baru, dan lain-lain. Dana-dana penelitian yang
disediakan badan-badan internasional yang tergabung dalam PBB, seperti UNESCO,
FAO dan ILO, telah banyak memberikan kesempatan kepada para ahli ilmu sosial
pada umumnya, dan para ahli antropologi khususnya, untuk melakukan
penelitian-penelitian bermutu dalam berbagai aspek masalah pembangunan
masyarakat desa.
Masalah pendidikan yang dibanyak
negara berkembang juga berada pada taraf perkembangan, erat pula kaitannya
dengan pembangunan desa, yang kemudian mendorong berkembangnya antropologi
pendidikan.
Masih dalam rangka pembangunan
masyarakat desa, para ahli antropologi sering diminta para dokter ahli
kesehatan masyarakat atau dokter ahli gizi untuk membantu mereka dalam hal
meneliti atau memberi data mengenai konsepsi dan sikap penduduk desa tentang
sakit, kesehatan, duku, obat tradisional, kebiasan dan pantangan makan, dan
lain-lain, sehingga timbul spesialisasi antropologi kesehatan.
Berasama dengan para dokter ahli
demografi, para ahli antropologi kesehatan kini juga banyak meneliti serta
memecahkan masalah keluarga berencana. Gambaran yang menakutkan mengenai
ledakan penduduk dunia dan masalah sosial ekonomi yang akan diakibatkannya, kini
menyebabkan banyaknya dana dan kesempatan yang tersedia untuk meneliti masalah
kependudukan, sehingga berkembang spesialisasi antropologi kependudukan.
Dalam banyak negara berkembang, pembangunan
nasionalnya yang pada tahap-tahap awal memang sangat berorientasi pada
pembangunan nasionalnya yang pada tahap-tahap awal memang sangat beriorientasi
pada pembangunan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari proses-proses perubahan
dan perkembangan politik yang terjadi. Masalah seperti kejadian-kejadian serta
gejala-gejala politik dan persaingan maupun kerjasama antara kekuatan-kekuatan
dan partai-partai politik dalam negara-negara
berkembang, yang sebenarnya menjadi perhatian para ahli ilmu politik,
kemudian tidak dapat dipelajari tanpa memperhatikan latar belakang kebudayaan,
sistem nilai dan sistem norma orang-orang yang melaksanakannya. Dengan demikian
muncul spesialisasi antropologi lain, yaitu antropologi polotik.
Spesialisasi yang terbaru dalam antropologi adalah
sub-ilmu antropologi untuk psikiatri. Di antara berbagai penyakit jiwa yang
diobati para dokter psikiater ada yang tidak disebabkan karena ada kerusakan
dalam otak atau organisme, melainkan karena tertekannya jiwa dan emosi di
penderita, yang menimbulkan pertanyaan mengenai peranan aspek sosial budaya sebagai
latar belakang sosial budaya pada penyakit jiwa itulah yang menyebabkan
timbulnya antopologi psikiatri.
Munculnya sub-sub-ilmu antropologi tersebut di atas
membuka kesempatan berkembangnya profesi-profesi baru bagi para ahli
antropologi selain tugas-tugas mengajar dan meneliti, yaitu sebagai konsultan
dalam pemerintahan, baik di daerah maupun di pusat, serta dalam pusat-pusat
kesehatan tingkat provinsi, maupun dalam klinik-klinik psikiatri.
4.
HUBUNGAN ANTARA ANTROPOLOGI BUDAYA
ATAU SOSIAL DAN SOSIOLOGI (Uni)
Persamaan Dan Perbadaan Antara
Kedua Ilmu. Sepintas lalu tampak tidak ada
perbedaan antara sub-ilmu antropologi sosial (atau antropologi sinkronik) dan
sosiologi. Seperti yang telah kita lihat dalam sub-bab diatas, antropologi
sosial berupaya mencari unsur-unsur yang sama di antara beragam masyarakat dan
kebudayaan yang ada di dunia, dengan tujuan mencapai pengertian tentang
asas-asas kehidupan masyarakat dan kebudayaan pada umumnya, yang memang juga
merupakan tujuan sosiologi, dan dengan demikian kedua ilmu memang mempunyai
tujuan yang sama. Namun secara lebih khusus ada beberapa perbedaan yang lebih
mendasar, yaitu:
1.
Kedua ilmu itu masing-masing mempunyai asal-mula dan sejarah perkembangan
yang berbeda;
2.
Perbedaan sejak awal itu menyebabkan pengkhususan kepada pokok dan bahan
penelitian dari kedua ilmu itu masing-masing;
3.
Perbedaan sejak awal itu juga telah menyebabkan berkembangnya metode-metode
dan masalah-masalah yang khusus pada antropologi budaya maupun sosial dan
sosiologi.
Sejarah Perkembangan Sosiologi. Asal-mula dan sejarah perkembangan antropologi telah kita pelajari di
atas, dan sebagai perbandingan, sekarang kita akan menguraikan mengenai
asal-mula dan perkembangan sosiologi.
Mula-mula sosiologi hanya merupakan
bagian dari ilmu filsafat. Dalam menganalisa hal-hal yang ada dalam alam
sekelilingnya, para ahli filsafat juga memikirkan masyarakatnya, sehingga juga
ada filsafat sosial yang menjadi bagian dari ilmu filsafat. Sejak abad ke-19
itu, sesuai dengan perubahan filsafat dan cara berfikir orang di Eropa Barat,
teori-teori dan konsep-konsep filsafat sosial tentu telah berubah pula.
Setelah timmbul krisis-krisis besar
dalam kehidupan masyarakat bangsa-bangsa Eropa (seperti revolusi Prancis,
revolusi industri, dan lain-lain), kegiatan menganalisa masalah-masalah
masyarakat makin digalakkan, sehingga ketika para ahli filsafat seperti H.de
Saint-Simon (1760-1825) dan A.Comte (1789-1857) mengumumkan pendapat mereka
mengenai sifat positif dari segala cabang ilmu pengetahuan, termasuk ilmu tentang
masyarakat (sosiologi), timbul kesadaran akan adanya ilmu yang berdiri sendiri,
yaitu sosiologi. Namun ketika sosiologi memisahkan diri sebagai suatu ilmu
khusus, pemikiran tentang masyarakat manusia tentang masyarakat manusia yang
sebelumnya masih dapat di klasifikasikan sejajar dengan aliran-aliran filsafat
yang besar yang ada, menjadi sukar. Perjuangan mengenai dasar, tujuan, dan
metode yang digunakan dalam ilmu yang baru itu telah menimbulkan berbagai aliran yang saling bertentangan
dan berubah-ubah, yang baru menjadi mantap setelah tahun 1925.
Uraian singkat mengenal perkembangan antropologi,
khususnya antropologi budaya atau sosial, dapat dibaca pada halaman 1 di atas.
Dari perbandingan mengenai sejarah perkembangan antropologi budaya atau sosial
dan sosiologi, tampak bahwa ada perbedaan yang besar diantara kedua ilmu
tersebut. Antropologi budaya atau sosial berawal dari himpunan bahan keterangan
tentang berbagai masyarakat dan kebudayaan masyarakat pribumi bukan-Eropa, yang
menjadi suatu ilmu khusus karena adanya kebutuhan untuk mencapai pengertian
tentang tingkat-tingkat awal dari sejarah perkembangan masyarakat dan
kebudayaan bangsa-bangsa Eropa Barat itu sendiri. Sebaliknya, sosiologi dimulai
sebagai suatu bagian dari ilmu fisafat, yang menjadi suatu ilmu khusus karena
masyarakat Eropa yang tengah dilanda krisis memerlukan pengetahuan yang lebih
mendalam mengenai asas-asas dari masyarakat dan kebudayaannya sendiri.
Pokok-pokok
Ilmiah Dari Antropologi Budaya Atau Sosial Dan Sosiologi. Sejarah perkembangan
antropologi telah menyebabkan bahwa
sejak awal ilmu itu terutama masih tertuju pada obyek-obyek penelitian dalam
masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa bukan-Eropa dan Amerika modern.
Sebaliknya, sejarah perkembangan sosiologi menyebabkan bahwa ilmu itu sejak
mulanya tetuju pada obyek-obyek penelitian dalam masyarakat dan kebudayaan
bangsa-bangsa yang justru hidup dalam lingkungan kebudayaan Eropa Barat dan
Amerika modern. Namun dalam fase perkembangannya yang keempat telah kita lihat
bahwa para ahli antropologi juga mulai memperhatikan gejala-gejala masyarakat
dalam lingkungan kebudayaan Eropa Barat dan Amerika modern tersebut, sedang
sejak kira-kira akhir abad ke-19 banyak penelitian sosiologi telah pula mulai
mengolah bahan dari masyarakat suku-suku bangsa penduduk pribumi bukan-Eropa.
Antropologi
|
Antropologi biologi
|
Antropologi fisik
|
Antropologi budaya
|
Prehistori
Etnolinguistik
|
Etnologi
|
Antropologi
diakronik
(Ethnology)
|
Antropologi
sinkronik
(Social
anthropology)
|
Ethnopsikologi
|
Antropologi
spesialisasi
|
Antropologi ekonomi
|
Antropologi polotik
|
Antropologi kependudukan
|
Antropologi kesehatan
|
Antropologi kesehatan jiwa
|
Antropologi pendidikan
|
Antropologi perkotaan
|
Antropologi hukum
|
Antropologi terapan
|
Paleoantropologi
|
Lingkungan masyarakat dan kebudayaan
Ero-Amerika itu dapat diselesaikan dalam berbagi kota di Eropa dan Amerika,
tetapi juga di berbagai kota di Afrika, Asia, Osenia, dan Amerika Latin, yang
menunjukan bahwa daerah-daerah yang makin jauh dari kota makin sedikit
terpengaruh unsur-unsur kebudayaan Ero-Amerika. Berdasarkan uraian ini dapat
dinyatakan bahwa antropologi sosial terutama mencari obyek penelitiannya dalam
masyarakat pedesaan, sementara sosiologi dalam masyarakat perkotaan. Keadaannya
padaumumnya memang demikian, walaupun hal itu belum mutlak untuk menentukan
perbedaan antara kedua ilmu tersebut, yang disebabkan karena akhir-akhir ini
tampak gejala bahwa para ahli antropologi mulai mencari obyeknya dalam
masyarakat-masyarakat yang kompleks (yaitu masyarakat perkotaan), dan terutama
di Amerika telah berkembang kejujuran baru, yaitu sosiologi pedesaan, yang
memperhatikam masalah-masalah pertanian dalam kehidupan kota kecil di negara
tersebut.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara antropologi dan sosiologi
tidak lagi dapat ditentukan berdasarkan perbedaan antara masyarakat pedesaan
dan masyarakat perkotaan, tetapi dalam metode-metode ilmiahnya.
Metode Ilmiah Antropologi Budaya
Atau Sosial Dan Sosiologi. Antropologi
telah mempunyai pengalaman yang lama dalam meneliti kebudayaan suku-suku bangsa
penduduk pribumi di Amerika, Asia, Afrika, maupun Osenia. Suku-suku bangsa
tersebut umumnya hidup dalam lingkungan masyarakat pedesaan dengan warga yang
terbatas jumlahnya, sehingga mereka dapat diteliti secara keseluruhan.
Sebaliknya, perhatian sosiologi senantiasa ditujukan pada unsur-unsur atau
gejala-gejala khusus dalam masyarakat manusia dengan cara menganalisa
kelompok-kelompok sosial yang khusus, atau menganalisa hubunganantarkelompok
atau antarindividu, maupun proses-proses yang ada dalam kehidupan suatu
masyarakat. Dengan demikian, dalam meneliti suatu masyarakat kota kecil
(misalnya Mojokuto di Indonesia, atau Middletown di Amerika Serikat),
pendekatan yang dilakukan seorang ahli sosiologi dan seorang ahli antropologi
sosial akan berbeda. Seorang ahli sosiologi akan meneliti gejala-gejala atau
proses-proses khusus, misalnya perkumpulan gereja, hubungan pemerinntah dengan
penduduk gerakan buruh dalam kota, besar atau kecilnya angka kejahatan,
kemiskinan di kota, dan lain-lain, tanpa perlu memperhatikan struktur
masyarakatnya secara keseluruhan. Sebaliknya seorang ahli antropologi sosial
akan berusaha meneliti semua unsur yang ada dalam kehidupan kota yang
ditelitinya, walaupun ia hanya akan mengkhusus pada suatu unsur tertentu saja,
misalnya kegiatan-kegiatan dalam kehidupan keagamaan, atau kekeluargaan.
Pengalaman meneliti masyarakat kecil telah memberi
kesempatan kepada para ahli antropologi untuk mengembangkan berbagai metode
penelitian yang intensif dan mendalam, seperti misalnya berbagai metode
wawancara. Sebaliknya, para ahli sosiologi yang biasanya meneliti masyarakat
kompleks, lebih banyak menggunakan berbagai metode penelitian yang bersifat
meluasa, seperti metode-metode angket, atau kuestioner.
Para
ahli antropologi sudah terbiasa menghadapi beragam kebudayaan yang jumlahnya
beribu-ribu di seluruh dunia, sehingga berkembang berbagai metode pengumpulan
bahan yang mengkhusus ke dalam (jadi bersifat kualitatif) maupun berbagai
metode pengolahan dan analisa komparatif.
Para
ahli sosiologi lebih banyak berpengalaman dalam meneliti gejala masyarakat
perkotaan yang kompleks, tetapi kurang memperhatikan keanekaragaman kebudayaan
masyarakat yang terdapat di dunia, dan sebagai akibatbya dalam ilmu itu
berkembang berbagai metode pengumpulan bahan yang sifatnya meluas-merata,
maupun metode-metode pengolahan bahan dan analisa berdasarkan perrhitungan-perhitungan
dalam jumlah besar (metode kuantitatif), seperti misalnya metode statistik.
Di
samping kedua kompleks metode yang berbeda itu, pada kedua ilmu itu sekarang
juga dilakukan banyak metode penelitian
lain yang pada hakikatnya mempunyai tujuan yang sama . Metode- metode yang
digunakan antropologi budaya atau sosial dan sosiologi dengan demikian dapat
saling mengisi dalam melaksanakan proyek-proyek penelitian masyarakat yang
sama.
4.
HUBUNGAN ANTARA ANTROPOLOGI DAN ILMU-ILMU LAIN (Uni)
Selain dengan ilmu psikologi
dan sosiologi, antopologi berikut sub-sub ilmunya yang tercantum pada bagan I,
juga mempunyai hubungan timbal-balik dengan ilmu-ilmu lain, seperti misalnya
geologi, paleontologi, anatomi, kesehatan masyarakat, psikiatri, linguistik,
arkeologi,sejarah, geografi, ekonomi, hukum adat, administrasi, dan politik.
Hubungan Antara Geologi Dan
Antropologi. Bantuan ilmu geologi yang
mempelajari ciri-ciri dari lapisan bumi beserta perubahan-perubahannya,
terutama dibutuhkan oleh sub-ilmu paleoantropologi dan prasejarah, guna
menetapkan umur relatif dari fosil-fosil makhluk primat serta fosil-fosil
manusia zaman dahulu, dan juga artefak-artefak maupun bekas-bekas kebudayaan
hasil galian para ahli arkeologi, untuk menganalisa umur dari lapisan bumi
tempat benda-benda itu tersimpan.
Hubungan
Antara Paleontologi Dan Antropologi. Bantuan dari paleontologi sebagai ilmu yang meneliti fosil makhluk-makhluk
purba guna merekontruksi proses evolusi yang terjadi pada manusia, tentu sangat
diperlukan ilmu paleoantropologi dan prasejarah. Pengertian tentang umur
fosil-fosil kera dan manusia, serta umur artefak-artefak yang diperoleh dengan
cara menggali, dapat juga dicapai dengan mengetahui umur relatif dari
fosil-fosil paleontologi yang di temukan di dekat situs yang bersangkutan.
Hubungan
Antara Ilmu Anatomi Dan Antropologi. Seorang ahli antropologi fisik, baik yang mengkhususkan perhatiannya pada
paleoantropologi maupun yang meneliti ciri-ciri ras-ras, sangat memerlukan
bantuan ilmu anatomi karena ciri-ciri dari berbagai bagian kerangka manusia,
bagian tengkorak, serta ciri-ciri dari bagian tubuh manusia pada umumnya
menjadi obyek penelitian yang terpenting bagi seorang ahli antropologi fisik
untuk memahami asal-mula serta penyebaran manusia, dan hubungan antara berbagai
ras di dunia.
Hubungan
Antara Ilmu Kesehatan Masyarakat Dan Antropologi. Selain yang telah disebutkan di atas, yaitu data
mengenai konsepsi dan sikap penduduk desa tentang kesehatan, sakit, dukun,
obat-obatan tradisional, kebiasaan serta pantangan makan, dan lain-lain, bagi
seorang dokter keseehatan masyarakat yang akan bekerja dan tinggal disuatu
kebudayaan yang asing antropologi juga memiliki metode-metode dan cara-cara
untuk dapat memahami serta menyesuaikan diri dengan kebudayaan serta
adat-istiadat setempat.
Hubungan
Antara Ilmu Psikiatri Dan Antropologi. Hubungan antara psikiatri dan antropologi telah
diuraikan diatas, dan merupakan suatu pengluasan dari hubungan antara
antro-pologi dan psikologi, yang kemudian mendapat fungsi yang praktis.
Hubungan Antara Ilmu Linguistik Dan
Antropologi. Ilmu linguistik
(atau ilmu bahasa) mula-mula terjadi pada akhir abad ke-18, ketika para ahli
mulai menganalisa naskah-naskah klasik dalam bahasa-bahasa Indo-German (yaitu
Latin, Yunani, Gotis, Avestis, Sansekerta, dan lain-lain). Sekarang ilmu
linguistik telah berkembang menjadi ilmu yang berusaha mengembangkan
konsep-konsep danMetode-metode untuk mengupas segala macam bentuk bahasa secara
global. Dengan demikian secara cepat dan mudah dapat dicapai suatu pengertian
tentang ciri-ciri dasar dari semua bahasa di dunia,
Diatas
telah kita lihat bagaimana antropologi sejak fase-fase awal dari
perkembangannya juga mengumpulkan bahan etnografi tentang bahasa pribumi dari
beratus-ratus suku bangsa yang ada di muka bumi. Bahan berupa daftar kata-kata,
catatan tentang tata bahasa, dan seringkali juga deskripsi lengkap mengenai
bahasa-bahasa tadi, dipakai oleh ilmu bagian dari antropologi yang disebut
etnolinguistik untuk mengembangkan teori-teori tentang berbagai asas bahasa.
Ilmu linguistik klasik pun tidak dapat mengabaikan bahan-bahan maupun metode
serta teori-teori yang dikembangkan etnolinguistik. Dibanyak negara, ilmu
linguistik dan etnolinguistik memang telah menyatu, walaupun di amerika
etnolinguistik seecara resmi masih dipertahankan sebagai bagian dari
antropologi.
Dalam antropologi, untuk pengumpulan
bahan etnografi dilapangan diperlukan pengetahuan kilat tentang bahasa penduduk
daerah yang didatangi, karena bahsa merupakan alat yang sangat penting dalam
melaksanakan penelitian. Bahan tentang kehidupan masyarakat obyek penelitian
seseorang ahli antropologi hanya dapat
dengan lancar, dan untuk komunikasi diperlukan bahasa. Apabila bahasa dari
penduduk yang bersangkutan belum pernah diteliti oleh orang lain, bahasa tersebut
tidak dapat dipelajari sebelumnya dari buku-buku pelajaran, buku-buku tata
bahasa, ataupun kamus. Oleh karena itu berbekal pengetahuan mengenai ilmu
bahasa, seeorang peneliti menguasai alat untuk dapat menganalisa dan
mempelajari suatu bahasa dalam waktu yang relatif singkat.
Hubungan
Antara Arkeologi Dan Antropologi. Arkeologi, atau ilmu sejarah kebudayaan manusia, pada awalnya meneliti
seejarah dari kebudayaan-kebudayaan kuno di zaman purba, seperti misalnya
kebudayaan Yunani dan Rum Klasik, kebudayaan mesir kuno, kebudayaan
mesopotamia, kebudayaan kuno di palestins, dsn lain-lain. DiIndonesia arkeologi
antara lain meneliti sejarah negara-negara Indonesia-Hindu antara abad ke-4 dan
abad -16Masehi.
Bahan yang digunakan dalam
meneliti kebudayaan-kebudayaan yang tadi menggunakan bekas-bekas bangunan kuno
(reruntuhan kuil, istana, bangunan irigasi, piramida, candi, dan lain-lain),
dan juga prasasti-prasasti atau buku-buku kuno yang berasal dari
kebudayaan-kenudayaan kuno tadi.
Diatas
telah uraikan bahwa antropologi juga meneliti sejarah kebudayaan manusia yang
lebih tua, yaitu zaman sebelum manusia mengenal huruf (zaman prasejarah).
Penelitian-penelitian itu dilakukan oleh sub-ilmu antropologi yang dinamakan
prasejarah (atau prehistori), yang menggunakan sisa-sisa dari benda-benda
kebudayaan manusia yang ditemukan dalam lapisan-lapisan bumi sebagai bahan
penelitian. Dengan demikian sub-ilmu prasejarah dari antropologi dapat
dikatakan memperpanjang jarak waktu dari sejarah kebudayaan manusia dengan bahan-bahan
yang lebih tua dari piramida-piramida, candi-candi, dan buku-buku kuno.
Demikian pula ilmu arkeologi Indonesia mempelajari zaman candi-candi dan
prasasti-prasasti yang tertua yang berasal dari abad ke-4, sementara ilmu
prasejarah mempelajari zaman-zaman yang umurnya telah berrpuluh ribu tahun
lebih tua, yaitu zaman Neolitik, zaman Paleolitik, dan lain-lain.
Namun,
antropologi dapat juga menyingkapkan tabir mengenai bagian dari kebudayaan
suatu bangsa yang tidak dapat dilakukan oleh ilmu-ilmu lain yang meneliti
kebudayaan, misalnya ilmu arkeologi. Ilmu arkeologi Indonesia, misalnya,
meneliti kebudayaan-kebudayaan kuno dari suatu lapisan sosial yang sangat
kecil, yaitu lapisan sosial yang hidup sekitar istana raja-raja yang dimasa
lalu membangun candi,menulis prasasti,dan buku-buku kuno. Sebaliknya,
antropologi Indonesia dapat menambah pengetahuan kita tentang kebudayaan rakyat
jelata yang tinggal di daerah pedesaan.
Hubungan
Antara Ilmu Sejarah Dan Antropologi. Hubungan ini sebenarnya mirip dengan
hubungan antara arkeologi dan antropologi terurai di atas. Untuk menulis
sejarah suatu bangsa, antropologi pada awalnya menyediakan bahan prasejarahnya.
Demikian juga berbagai masalah dalam historiografi dari sejarah suatu bangsa
dapat dipecahkan dengan metode-metode antropologi. Berbagai sumber sejarah,
seperti prasati, dokumen, naskah tradisional, dan arsip kuno, seringkali hanya
dapat mengungkapkan peristiwa-peristiwa sejarah yang terbatas pada bidang
politik saja. Sebaliknya, seluruh latar belakang sosial dari
peristiwa-peristiwa politik tidak hanya
dapat diketahui dari sumber-sumber tadi. Konsep-konsep tentang kehidupan
masyarakat yang dikembangkan antropologi dan ilmu-ilmu sosial lain dapat
memberi pengertian kepada para ahli sejarah untuk mengisi latar belakang suatu
peristiwa politik di masa lampau.
Para
ahli antropologi sebaliknya memerlukan sejarah, terutama sejarah dari suku-suku
bangsa penduduk daerah yang ditelitinya, untuk memecahkan masalah-masalah yang
diakibatkan o.eh pengaruh kebudayaan asing. Dengan demikian pengertian terhadap
masalah-masalah itu hanya dapat diperolehnya dengan mengetahui sejarah proses
terjadinya pengaruh tadi. Seringkali seorang peneliti antropologi juga masih
perlu merekonstruksi sejarah itu, yang memerlukan pengetahuan tentang
metode-metodenya.
Hubungan
Antara Geografi Dan Antropologi. Geografi, atau ilmu bumi, mencoba mencapai pengertian tentang alam dunia
ini dengan gambaran-gambaran tentang bumi dan ciri-ciri dari segala bentuk
hidup yang ada di bumi, seperti flora dan fauna. Salah satunya adalah makhluk
manusia yang juga beranekaragam rupa dan sifatnya. Karena antropologi adalah
satu-satunya ilmu yang mampu menyelami masalah mengenai keanekaragaman manusia,
tentu geografi tidak dapat mengabaikan antropologi.
Sebaliknya,
seorang ahli antropologi juga memerlukan sekedar pengertian tentang geografi, karena banyak masalah mengenai
kebudayaan manusia berkaitan dengan keadaan lingkungan alamnya.
Hubungan Anatara Ilmu Ekonomi Dan
Antropologi. Dalam banyak
negara dimana penduduk pedesaannya lebih besar jumlahnya dari pada penduduk
kotanya (terutama negara-negara bukan Ero-Amerika), kekuatan, proses, dan
hukum-hukum ekonomi yang berlaku dalam kegiatan kehidupan ekonominya sangat di
pengaruhi sistem kemasyarakatan, cara berpikir, pandangan, serta sikap hidup
warga masyarakat pedesaan tadi. Dalam masyarakat negara-negara serupa iti
seorang ahli ekonomi tidak dapatmenggunakan secara sempurna konsep-konsep serta
teori-teori tentang kekuatan, proses dan hukum-hukum ekonomi yang dikembangkan
dalam masyarakat Ero-Amerika, dalam rangka ekonomi internasional, tetapi harus
disertai pengetahuan tentang sistem kemasyarakatan, cara berpikir, pandangan,
dan sikap hidup warga masyarakat pedesaan tadi. Dengan demikian apabila ia
hendak membangun ekonomi suatu negara serupa itu, ia tentu memerlukan bahan
komparatif mengenai sikap terhadap
kerja, kekayaan, maupun sistem gotong–royong ; yakni semua bahan komparatif
tentang berbagai unsur dari sistem kemasyarakatan di negara-negara tersebut.
Dalam mengumpulkan bahan itu antropologi memang sangat berguna.
Hubungan Antara Ilmu Hukum Adat
Indonesia Dan Antropologi. Sejak
awal timbulnya ilmu hukum adat Indonesia pada permulaan abad ke-20, para ahli
telah menyadari pentingnya antropologi sebagai ilmu bantu dalam melakukan
penelitian-penelitiannya. Beberapa orang ahli ilmu hukum adat secara nyata
telah menggunakan metode-metode antropologi guna menyelami latar belakang
kehidupan hukum adat di berbagai daerah di Indoonesia. Antropologi di anggap
penting karena hukum adat bukan suatu sistem hukum yang telah diabstraksikan
sebagai aturan-aturan dalam buku-buku undang-ndang, melainkan timbul dan hdup
langsung dari masalah-masalah perdata yang berasal dari aktivitas masyarakat.
Sebaliknya, antropologi juga memerlukan bantuan ilmu
hukum adat Indonesia, karena setiap masyarakat, baik yang sangat sederhana
bentuknya, maupun yang telah maju, tentu mampu mempunyai kegiatan-kegiatan yang
berfungsi dalam lapangan pengendalian sosial. Salah satunya adalah hukum.
Konsepsi dari antropologi yang menganggap hukum hanya sebagai salah satu
aktivitas kebudayaan dalam lapangan sistem pengendaliaan sosial itu menyebabkan
bahwa seorang ahli antropologi juga harus memiliki pengetahuan umum tentang
konsep-konsep hukum pada umumnya.
Kecuali itu, untuk ilmu antropologi di
Indonesia fungsi ilmu hukum adat juga penting, karena antara tahun 1900 dan
1930 lapangan penelitian masyarakat dikuasai oleh ilmu hukum adat, sehingga
banyak bahan deskriptif tentang masyarakat dan kebudayaan berbagai suku bangsa
di Indonesia hanya ada dalam buku-buku tentang hukum adat. Seorang peneliti
antropologi yang ingin mencari bahan tentang adat istiadat, susunan dan
organisasi kemasyarakatan, dan lain-lain dari suku-suku bangsa di Indonesia
hanya dapaat menemukannya dalam buku-buku hukum adat. Untuk dapat membaca serta
memahami isinya, ia tentu wajib memiliki pengetahuan tentap konsep-konsep dan
istilah-istilah hukum.
Hubungan Antara Ilmu Administrasi Dan Antropologi. Di Indonesia, ilmu administrasi tentu
akan menghadapi masalah-masalah yang sama seperti ilmu ekonomi. Lagi pula,
bahan keterangan mengenai masalah-masalah yang berhubungandengan agraria, yang
juga merupakan suatu kompleks masalah yang sangat penting dalam ilmu
administrasi, antara lain dapat diperoleh dengan penelitian yang menggunakan
metode-metode antropologi.
Hubungan Antara Ilmu Politik Dan Antropologi. Sejak kira-kira tahun 1960, dari hubungan antara
kekuatan-kekuatan serta proses-proses politik berbagai negara dengan berbagai sistem
pemerintahan, ilmu politik telah melebarkan perhatiannya ke masalah-masalah
yang menyangkut latar belakang sosial budaya dari kekuatan –kekuatan politik
itu. Hal itu terutama penting apabila ia harus meneliti dan menganalisa
kekuatan-kekuatan politik dalam negara-negara yang sedang berkembang di Asia,
Afrika, Amerika Latin, dan Oseania.
Kalau dalam suatu negara berkembang
(misalnya Indonesia) ada suatu partai politik dengan ideologi agama islam, maka
semua cara yang dugunakan partai untuk berhubungan, berssaing, atau bekerjasama
dengan partai-partai ataukekuatan-kekuatan politik lain di Indonesia, tidak
hanya di tentukan oleh norma-norma serta metode perjuangan kepartaian yang
lazim, melainkan juga oleh latar belakang, sistem norma, dan adat-istiadat
tradisional dari suku bangsa para pemimpin atau anggota partai yang seringkali
menyimpang dari ketentuan-ketentuan norma kepartaian dan ideologi islam. Untuk
dapat memahami, latar belakang dan adat istiadat tradisional suku-suku bangsa
itulah metode analisa antropologi penting bagi seorang ahli ilmu politik, guna
mendapat pengertian mengenai tindak-tanduk partai politik yang sedang
ditelitinya.
Dalam mempelajari suatu masyarakat, yang
dilakukan untuk menulis suatu deskripsi etnografi, seorang ahli antropologi
secara langsung akan berhadapan dengan kekuatan-kekuatan dan proses-proses
politik lokal, maupun dengan aktivitas-aktivitas dan cabang-cabang politik
nasional. Untuk mengabalisa gejala-gejala itu ia perlu mengetahui konsep-konsep
dan teori-teori ilmu politik.
Ilmu Gabungan Mengenai Tingkah Laku Manusia. Dalam zaman krisis dunia sekarang ini,
suatu pengertian tentang asas-asas kehidupan serta tingkah laku manusia
dirasakan sangat perlu. Tingkah laku dan tindakan manusia tidak hanya diteliti
antropologi, melainkan juga oleh berbagai ilmu sosial seperti sosiologi dan
psikologi.
Dalam sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan kita lihat bahwa ilmu-ilmu sosial yang bila dibandingkan dengan
ilmu-ilmu alam masih tergolong muda, satu per satu memisahkan diri dari ilmu
filsafat, dan kemudian menjadi ilmu-ilmu tersendiri. Dalam perkembangannya
lebih lanjut ilmu-ilmu tadi menjadi sedemikian luasnya sehingga mereka pecah
lagi ke dalam berbagai sub-ilmu dan kejuruan. Dalam proses pengkhususan itu
sub-ilmu dan kejujuran itu kemudian membutakan diri terhadap hasil penelitian
lain, dan bahkan juga mencelanya secara destruktif .Untung para ahli segera
akan sadar batas-batas kemapuan mereka masing-masing, dan bahwa suatu
pengertian yang tulus tentang suatu aspekdari tindakan manusia hanya dapat
dicapaidengan bantuanilmu-ilmu lain.
Dengan demikian ilmu-ilmu yang mempelajari berbagai aspek dari tindakan manusia
kemudian saling mendekati lagi, dan akhir-akhir ini malahan ada saran-saran untuk
membina suatu kerjasama antar disiplin untuk melakukan penelitian tentang
tingkah laku manusia secaraterpadu. Di bawahpimpinan ahli antropologi J.Gillin,
beberapa orang ahli antropologi, sosiologi, dan psikologi kemudian
mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan kerjasama antara ketiga ilmu tadi. Hasil
pembicaraan itu diterbitkan dibawah redaksi J.Gillin, berjudul for A Science
Of Social Man (1955). Antara tahun 1951 dan 1955, di Institute for
Psychosomatic and Psychiatric Research and Training dari Michael Reese Hospital
di Amerika Serikat, atas prakarsa beberapa ahli psikologi telah berkumpul
beberapa ahli psikologi, psikiatri, biologi, anatomi, zoologi, sosiologi dan
antropologi, guna mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan untuk mengembangkan
metode-metode untuk mengintegrasikan hasil dari ilmu mereka masing-masing.
Hasil diskusi tersebut diterbitkan
sebagai suatu buku berjudul Toward A Unified Theory Of Human Behavior (1956).
Metode Ilmiah. Metode ilmiah dari suatu
cabang ilmu pengetahuan adalah semua
cara yang dapat digunakan dalam ilmu tersebut untuk mencapai suatu kesatuan
pengetahuan. Tanpa metode ilmiah, suatu ilmu pengetahuan bukanlah ilmu,
melainkan hanya suatu himpunan pengetahuan saja mengenai berbagai gejala alam atau
masyarakat, tanpa adanya kesadaran mengenai hubungan antara gejala-gejala yang
ada. Kesatuan pengetahuan itu dapat dicapai para ahli dalam ilmu yang bersangkutan
melalui tiga tingkat, yaitu: (1) pengumpulan data, 2) penentuan ciri-ciri umum
dan sistem, dan 3) vertifikasi.
Pengumpulan Fakta. Untuk antropologi budaya atau
sosial, tingkat ini adalah pengumpulan data mengenai kejadian dan gejala
masyarakat dan kebudayaan untuk diolah secara ilmiah. Dalam kenyataan,
aktivitas pengumpulan fakta di sini terdiri dari berbagai metode
observasi,mencatat, mengolah, dan mendeskripsi fakta-fakta yang terjadi dalam
suatu masyarakat yang hidup.
Pada
umumnya metode-metode pengumpulan fakta dalam ilmu pengetahuan dapat dibagi
dalam tiga golongan yang masing-masing mempunyai perbedaan pokok, yaitu (1)
penelitian di lapangan, (2) penelitian di laboratorium, dan (3) penelitian
perpustakaan. Dalam penelitian di lapangan seorang peneliti harus menunggu saat
terjadinya gejala yang menjadi obyek pengamatannya; dalam penelitian di
laboratorium gejala itu dapat dibuat atau sengaja diadakan oleh peneliti; dan
ddalam penelitian perpustakaan gejala itu harus dicari dari bahan yang ada
dalam beratus ribu buku yang beranekaragaman. Kecuali itu, dalam penelitian di lapangan
seorang peneliti harus secara langsung melibatkan dirinya dengan obyeknya,
sementara dalam penelitian laboratorium dan perpustakaan ia tetap berada di
luar, dan tidak melibatkan dirinya secara langsung dengan obyek yang di
telitinya.
Untuk antropologi budaya atau sosial penelitian
dilapangan merupakan cara yang terpenting untuk mengumpulkan fakta-fakta, yang
juga perlu ditunjang dengan penelitian perpustakan. Metode metode penelitian di
laboraturium, yang bagi ilmu-ilmu alam dan teknologi merupakan metode
pengumpulan fakta yang umum, hampir tidak berarti bagi antropologi budaya atau
sosial, tetapi merupakan metode yang penting bagi antropologi fisik.
Dalam
penelitian di lapangan seorang peneliti secara langsung berhadapan dengan
masyarakat yang ditelitinya untuk mendapatkan keterangan mengenai suatu gejala
kehidupan dalam masyarakat yang bersangkutan. Selain dengan cara mengamati
obyeknya, sebagian besar bahan keterangan diperolehnya dari para warga
masyarakat yang menjadi informannya. Para peniliti antropologi budaya atau
sosial umumnya sangat tertarik pada tindakan dan tingkah laku manusia dalam
hubungan kelompok-kelompok kecil, yang biasanya tidak melebihi 3.000 orang, yang dipilihnya agar mereka
sedapat mungkin diteliti secara khusus dan mendalam mengenai segala aspeknya.
Dengan demikian ia terutama menggunakan metode-metode pengumpulan fakta yang
bersifat kualitatif, yaitu terutama
metode-metode wawancara dan catatan hasil wawancara.
Catatan-catatan
hasil wawancara yang terkumpul kemudian harus disusun sedemikian rupa sehingga
orang lain dapat menggunakan dan mengolahnya menjadi teori-teori tentang asas
kebudayaan, atau untuk menambah
pengetahuan seorang peneliti yang juga bermaksud mengunjungi daerah yang
bersangkutan. Metode untuk membuat agar catatan hasil wawancara dapat menjadi
suatu karangan, adalah dengan terlebih dahulu membuat pernyataan-pernyataan
deskriptif dengan cara membuat ringkasan dari bahan yang terkumpul.
Contoh:
Seorang peneliti yang mengamati dan mencatat semua keterangan dalam masyarakat
X yang ditelitinya, melihat orang memarahi saudaranya yang lebih muda, yang
hanya mendengarkan dan tidak berani membantah. Dari seorang informan si
peneliti mengetahui bahwa orang dalam masyarakat tersebut harus lebih dahulu
memberi hormat apabila dijalan ia berjumpa dengan saudaranya yang lebih tua.
Dari berbagai peristiwa yang diamatinya, dan dari keterangan-keterangan yang
diperolehnya, yang semua dicatatnya dan himpunnya, ia membuat suatu pernyataan
deskriptif secara edukatif sebagai berikut: “Dalam masyarakat X, orang yang
lebih tua berkedudukan lebih tinggi dari pada saudaranya yang lebih muda”.
Dengan
demikian jelas bahwa antara pernyataan deskriptif tersebut di atas dan
peristiwa-peristiwa nyata yang tertulis dalam catatannya, telah terjadi suatu
jarak yang disebabkan karena si peneliti telah melakukan abstraksi.
Semua
metode yang diguunakan, yaitu sejak
melakukan pengumpulan bahan tentang suatu masyarakat yang hidup, sampai
metode untuk mengolah bahan, yang akhirnya menjadi karangan yang dapat dibaca
orang lain, merupakan bidang deskriptif dari antropologi yang disebut
etnografi.Istilah yang berarti “deskripsi tentang ethnos (suku bangsa) itu,
selain mengandung arti seluruh metode antropologi deskriptif, juga berarti
bahan tentang kehidupan masyarakat dan kebudayaan suatu daerah, sedang buku
etnografi adalah buku yang memuat pelukisan tentang kehidupan suatu masyarakat
dan kebudayaan di suatu daerah.
Sebuah
buku pedoman yang biasanya dijadikan pegangan oleh seorang peneliti etnografi adalah
Notes And Queries On Anthropology (1951). 21 Sebuah buku pedoman untuk metode antropologi
yang terbaru adalah buku yang diredaksi R.Naroll dan R.Cohen, berjudul A
Handbook Of Methods In Cultural Anthropology (1970).
Penentuan
Ciri-ciri Umum Dan Sistem. Penentuan ciri-ciri umum serta sistem merupakan
suatu tahap dalam cara berpikir ilmiah, yang bertujuan untuk menentukan
ciri-ciri umum dan sistem yang digunakan untuk menganalisa fakta-fakta yang
telah terkumpul dalam sutu penelitian. Pada tahap ini digunakan metode-metode
untuk mencari ciri-ciri yang sama dan umum diantara beragam fakta yang terdapat
dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan umat manusia. Proses berpikir pada
tahap ini berlangsung secara induktif,
yaitu dari pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa dan fakta-fakta yang nyata,
kepada konsep-konsep mengenai ciri-ciri umum yang lebih abstrak.
Antropologi, yang menggunakan bahan
berupa fakta-fakta yang berasal dari sebanyak mungkin masyarakat dan kebudayaan
yang berbeda-beda, harus menggunakan berbagai metode komparatif untuk
mendapatkan suatu ciri umum, yang biasanya dimulai dengan metode klasifikasi.
Dalam menghadapi suatu obyek dengan metode menunjukkan keanekaragaman karena
adanya beribu-ribu bentuk yang
berbeda-beda, terlebih dahulu harus berusaha menguasai keanekaragaman
itu dengan akalnya; jadi ia harus menciutkannya sedemikian rupa sehingga hanya
ada beberapa perbedaan pokok saja.
Dalam ilmu-ilmu
alam, ciri-ciri umum dan sistem dalam fakta-fakta alam ditentukan dengan cara
mencari perumusan-perumusan yang menyatakan berbagai hubungan yang mantap
antara fakta-fakta tersebut. Hubungan itu biasanya adalah hubungan kovariabel
(yaitu, kalau suatu fakta berubah dengan suatu cara tertentu, maka fakta-fakta
lain yang berhubungan dengan fakta tersebut juga akan berubah) atau hubungan
sebab-akibat (apabila suatu fakta menyebabkan terjadinya, berubahnya, atau
hilangnya fakta lain). Perumusan yang menyatakan hubungan-hubungan yang mantap
antara berbagaai fakta dalam alam disebut kaidah alam.
Mengenai
kemungkinan adanya kaidah-kaidah tentang tingkah laku manusia dalam
kehidupan-kehidupan bermasyarakat masih ada beberapa anggapan yang
bertentangan. Ada yang mengatakan bahwa fakta-fakta tingkah laku manusia tidak
mungkin dirumuskan ke dalam kaidah-kaidah yang mantap, tetapi ada pula yang
mengatakan bahwa sampai suatu batas tertentu hal itu mungkin.
Anggapan
para ahli yang menolak gagasan mengenai kaidah-kaidah tentang tingkah laku
manusia dalam kehidupan bermasyarakat (yaitu tentang masyarakatdan kebudayaan
manusia) didasarkan pada kenyataan bahwa hanya perostiwa dan gejala yang masih
terjalin dalam gerak peredaran alam semestalah yang mantap dan dapat berulang
kembali dalam ruang dan waktu. Tekanan volume gas selalu akan berimbang
terbalik, di mana pun dan kapan pun juga. Logam tetap akan mengembang bila di
panaskan, di mana pun dan di zaman apa
pun juga; kera gibbon hidup dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari seekor
jantan, seekor betina, dan sebanyak empat sampai lima ekor anaknya; dan susunan
keluarga gibbon seperti itu akan dapat kita jumpai didaerah mana pun dan di zaman apapun jenis
keras seperti itu ada. Sebaliknya, manusia adalah suatu makhluk yang pada
umumnya telah melepaskan diri dari proses-proses alamiah; karena itu tingkah
lakunya tidak berlaku bagi seluruh umat manusia. Tingkah laku individu di suatu
lokasi pada suatu saat dalam ruang dan waktu tidak mesti sama di lokasi lain.
Bentuk keluarga manusia pun berbeda-beda di berbagai tempat di muka bumi maupun
dalam berbagai zaman yang berbeda-beda. Dengan demikian hanya ilmu-ilmu pasti
yang meperhatikan gejala-gejala alam yang dapat merumuskan hubungan-hubungan
yang mantap antara fakta-fakta alam menjadi kaidah-kaidah alam. Antropologi,
yang memperhatikan tingkah laku manusia dalam masyarakat, tidak akan dapat
merumuskan kaidah-kaidah tentang hubungan antara kekuatan fakta dan kekuatn
yang mendorong kehidupan suatu masyarakat dan kebudayaan. Antropologi hanya
dapat mencapai suatu pengertian tentang kehidupan masyarakat dan kebudayaan
itu.
Dalam
abad ke-19 pernah ada ahli-ahli yang menganut anggapan bahwa ilmu-ilmu sosial
dapat merumuskan kaidah-kaidah mengenai semua gejala kehidupan masyarakat dan
kebudayaan manusia, namun anggapan seperti itu sekarang hampir tidak terdengar
dari. Anggapan yang lazim sekarang berada di tengah-tengah kedua anggapan yang
ekstrem tersebut. Dalam dunia ilmiah sekarang orang beranggapan bahwa karena
gejala-gejala alam masih berjalin erat dengan proses-proses kehidupan alam, maka
hubungan atau fakta-fakta yang dapat dirumuskan ke dalam kaidah-kaidah alam
sangat luas, walaupun hal ini tidak berarti bahwa semua gejala alam dapat
dipahami melalui kaidaah-kaidah. Sebaliknya, apabila gejala-gejala itu telah
terpisa dari proses-proses alamiah, maka fakta-fakta yang dapat dirumuskan ke
dalam kaidah-kaidah memang lebih sedikit jumlahnya. Walaupun demikian, kiranya
tidak betul pula untuk mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial yang mempelajari
gejala-gejala yang tersebut berakhir, sama sekali tidak dapat sampai pada taraf
perumusan kaidah-kaidah mengenai hubungan antara fakta sosial budaya dalam
kehidupan masyarakat dan kebudayaan. Dalam antropologi dan ilmu-ilmu sosial
pada umumnya, sebagian besar pengetahuannya bersifat pengertian mengenai kehidupan
masyarakat dan kebudayaan, di samping pengetahuan yang berupa kaidah-kaidah
sosial budaya.
Verifikasi.
Metode-metode yang digunakan untuk melakukan verifikasi dilakukan dalam
kenyataan alam atau dalam masyarakat yang hidup, terhadap kaidah-kaidah yang
telah dirumuskan atau kaidah-kaidah yang dimaksudkan untuk memperkuat suatu pengertian yang telah ada. Dalam
melakukan pengujian, proses berpikirnya dilakukan secara deduktif, yaitu dari
perumusan umum ke fakta-fakta yang ada. Pengetahuan dalam antropologi yang
lebih banyak berdasarkan pengertian dari pada kaidah, menggunakan metode-metode
verifikasi yang bersifat kualitatif, yang dimaksudkan untuk memperkuat
pengertian dengan cara menerapkannya secara rinci pada kenyataan, yaitu pada
beberapa masyarakat yang ada.
Pada
metode-metode kuantitatif verifikasi dilakukan dengan cara mengumpulkan
sebanyak mungkin fakta dari kejadian-kejadian dan gejala-gejala sosial budaya
yang sama atau menunjukkan persamaan yang mendasar, yang disebut metode
statistik. Metode yang sekarang sangat penting bagi antropologi ini dulu memang
jarang digunakan.
6.
TENAGA AHLI, LEMBAGA, MAJALAH DAN PRASARANA ANTROPOLOGI (ika)
Kehidupan
Ilmiah. Suatu cabang
ilmu pengetahuan dapat dikatakan “hidup” apabila para ahli dalam bidang ilmu
pengetahuan tersebut melakukan kegiatan-kegiatan penelitian untuk memecahkan
berbagai macam masalah di bidang itu.
Karena suatu penelitian biasanya
memerlukan pendanaan yang besar, maka untuk menyokong kegiatan-kegiatan
penelitian itu diperlukan kehadiran badan-badan yang dapat menopang
kegiatan-kegiatan itu, yaitu perguruan-perguruan tinggi dan yayasan-yayasan.
Disamping tugas mengajar, perguruan tinggi juga harus mengembangkan berbagai
cabang ilmu pengetahuan yang dicakupnya. Namun karena tugasnya sangat luas,
perkembangan-perkembangan dari cabang ilmu pengetahuan tersebut pada umumnya
sebagian besar dilakukan oleh lembaga-lembaga dari cabang-cabang ilmu
pengetahuan itu masing-masing.
Tugas lembaga ilmiah yang utama pada umumnya adalah
menyelenggarakan pertemuan-pertemuan atau kongres-kongres ilmiah dan menerbitkan majalah ilmiah, di samping
membiayai proyek-proyek penelitian. Dalam suatu pertemuan atau kongres pada
peneliti berkesempatan untuk bertukar pikiran, sedang majalahilmiah merupakan wadah
tempat para peneliti dapat melaporkan hasill penelitian mereka. Dengan adanya
masalah ilmiah para ahli lain dapat memeriksa kebenaran hasil-hasil yang
dilaporkan, atau menggunakannya sebagai dasar untuk mengembangkan
masalah-masalah dan penelitian-penelitian lebih lanjut.
Para
tokoh Antropologi. Dalam fase pertama perkembangannya, antropologi tentu
belum memiliki tokoh-tokoh ahli. Namun seperti yang telah diuraikan pada awal
buku ini, ketika itu yang ada adalah karangan-karangan mengenai suku-suku bangsa
penduduk daerah yang dianggap asing oleh orang
Eropa pada waktu itu, dan merupakan kisah-kisah perjalanan atau
pengalaman pribadi para pelaut, para penyiar agama Nasrani, atau para pegawai
pemerintah jajahan, ketika mereka berkunjung ke daerah-daerah tersebut.
Seorang pengarang etnografi kuno
golongan musafir adalah A. Bastian, seorang dokter kapal berbangga Jerman yang
telah mengunjungi berbagai benua pada awal abad ke-19. Selain catatan-catatan
mengenai daerah-daerah tertentu diAfrika Barat, India, Cina, Australia,
Kepulauan Oseania, Meksiko, dan Amerika Latin, Bastian juga menulis etnografi
mengenai kebudayaan berbagai suku baangsa di Indonesia, yang terdiri dari tiga
jilid.
Pengarang
etnografi kuno golongan penyoar agama Nasrani sangat banyak jumlahnya, antara
lain pendeta Katolik Perancis J.F.Lafitau, yang pernah bekerja di daerah aliran
sungai St. Lawrence di Amerika Utara dan Kanada Timur. Ia adalah penulis buku
etnografi klasik (1724) tentang kebudayaan suku-suku bangsa Indian penduduk
daerah tersebut.
Pengarang
etnografi kuno golongan ahli eksplorasi adalah N.N.Miklukho-Maklai, seorang
pengembara Rusia yang pernah mengunjungi kepulauan Oseania dan Pulau Irian
(Irian Jaya dan Papua Niugini).
Namun
pengarang etnografi kuno yang terbanyak jumlahnya adalah pegawai pemerintah
jajahan, seperti misalnya T.S.Raffles, yang pernah menjabat sebagai Letnan
Gubernur Jenderal di Indonesia dari tahun 1811 hingga 1815, ketika inggris
berhasil merebut kepulauan Nusantara dari Negeri Belanda dalam Perang Napoleon.
Sebagai kepala pemerintah jajahan
Raffles juga menaruh perhatian yang besar terhadap kebudayaan penduduk pribumi
Indonesia, dan telah menulis dua jilid etnografi tentang kebudayaan Jawa yang
terbit dalam tahun 1817.
Para tokoh
antropologi dari fase kedua merupakan tokoh-tokoh pendekar ntropologi. Mereka
hampir semuanya penganut teori evolusi, khususnya teori evolusi masyarakat,
yang pada pertengahan abad ke-19 memang sangat menguasai cara berpikir dunia
ilmu pengetahuan di Eropa dan Amerika. Salah seorang adalah L.H. Morgan, pakar
hukum Amerika yang bekerja sebagai pengacara untuk membantu kepentingan
penduduk pribumi Amerika Timur dalam masalah-masalah yang menyangkut hak tanah.
Morgan yang tertarik pada adat-istiadat dan kebudayaan suku bangsa indian,
kemudian menulis berbagai buku etnografi dan sebuah karangan teoretis mengenai
evolusi masyarakat manusia berdasarkan
data yang dikumpulkannya dengan susunan masyarakat dari berpuluh-puluh
suku bangsa lain di dunia, dalam buku berjudul Ancient Society (1877).
Teori mengenai tingkat-tingkat evolusi masyarakat manusia kemudian sangat
mempengaruhi teori K. Marx mengenai evolusi masyarakat dan tingkat-tingkat
perkembangan susunan ekonomi dan sistem kelas sosial.
Pada waktu itu ada ahli-ahli yang tidak begitu
terpengaruh oleh teori evolusi masyarakat, tetapi lebih tertarik pada masalah
sejarah asal-mula penyebaran kebudayaan suku-suku bangsa di dunia, 23 salah seorang tokoh aliran ini adalah pakar
antropologi bangsa Austria, P.W. Schmidt.
Tokoh-tokoh
antropologi dari fase perkembangan ketiga terutama berasal dari negara-negara
yang memiliki daerah jajahan. Di awal buku ini telah diuraikan bahwa antropologi
dalam fase perkembangan ini mendapat fungsi yaang sangat praktis, yaitu
mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa guna
kepentingan pemerintah jajahan. Inggris sebagai negara kolonial merupakan yang
paling utama di antara negara-negaraa kolonial lainnya, dan karena itu
antropologi sangat bermanfaat bagi negara itu. Karena sampai perang dunia II
daerah jajahan inggris meliputi hampir seluruh dunia, maka tulisan-tulisan
mengenai daerah-daerah jajahan inggris adalah yang terbanyak jumlahnya. Seorang
tokoh antropologi Inggris ternama, B. Malinowski telah menulis sejumlah buku
antropologi tentang penduduk kepulauan Trobrland, dan M. Fortes banyak menulis
tentang kebudayaan suku-suku bangsa afrika barat, khusunya Ghana Utara.
Tokoh-tokoh
dari fase perkembangan keempat antropologi diawali dengan kehadiran F.Boas
(1858-1942) dari Amerika Serikat. Boas sebenarnya adalah seorang pakar geografi
Jerman yang menjadi warganegara Amerika. Ia dapat kita anggap sebagai tokoh
pendekar antropologi yang baru, yaitu ilmu tentang makhluk manusia pada
umumnya, yang mempelajari beragam bentuk fisiknya, masyarakatnya, serta
kebudayaannya. Seorang tokoh penting lain dalam proses perkembangan sntropologi
fase keempat ini adalah A.L.Kroeber, dan sebagai pendekar-pendekar antropologi
psikologi (etnopsikologi) dapat kita sebut
para ahli antropologi Ruth Benedict, Margaret Mead, dan R.Linton.
Seperti telah pula disebutkan diatas, antropologi terapan
pada awalnya dimulai dengan penggunaan metode-metode antropologi dalam
menganalisa prose-prose ekonomi pada masyarakat pedesaan oleh pakar antropologi
Inggris, R.Firth. Ia telah banyak melakukan penelitian di Kepulauan Tikopea
(Polynesia) dan Malaysia. Cabang-cabang antropologi terapan lain yang terjadi
kemudian juga mempunyai tokoh-tokohnya sendiri-sendiri, seperti yang tertera
namanya dalam daftar karangan-karangan pada akhir bab ini.
Seorang tokoh pendekar antropolgi yang telah
mengembangkan teori-teori antropologi sinkronik yang kemudian menjadi sub-ilmu
antropologi sosial pada fase ketiga sejarah perkembangannya adalah
A.R.Radcliffe-Brown. Ahli antropologi Inggris ini mula-mula mengecap cara kerja
antropologi fase kedua yang mempelajari kebudayaan suku bangsa guna memperoleh
pengertian tentang sejarah asal-mula serta penyebaran kebudayaan-kebudayaan
itu. Walaupun Radcliffe-Brown menyangka bahwa hal itu berguna juga (misalnya
untuk permuseuman), ia sendiri berambisi mempelajari kebudayaan dari sebanyak
mungkin suku bangsa didunia dan membanding-bandingkannya guna menemukan
asas-asas dari kebudayaan serta kaidah-kaidah pokok yang mengatur kehidupan
masyarakat manusia. Untuk membedakan ilmu baru yang sedang di kembangkannya
dari ilmu antropologi yang lain, Radcliffe-Brown menamakannya antropologi
sosial.
Akhirnya perlu disebutkan juga bahwa antropologi tidak
hanya berkembang di Eropa atau Amerika saja. Sebelum Perang Dunia II
negara-negara Asia seperti India, Cina, Jepang, dan Meksiko sudah mempunyai
ahli-ahli antropologi, dan setelah perang berakhir daerah-daerah tersebut juga
memiliki tokoh-tokoh antropologi beberapa diantaranya bahkan menjadi sangat
terkenal. M.N. Srinivas dan Sarah Chandra Dube dari India, F.L. Hsu dari
Republik Rakyat Cina, Chie Nakane dari Jepang dan K.A. Busia dari Ghana adalah
tokoh-tokoh antropologi ternama.
Lembaga-Lembaga Dan Majalah-Majalah Antropologi. Salah
satu majalah antropologi yang terpenting dan diperlukan oleh setiap ahli
antropologi adalah majalah Current Anthtropology yang diterbitkan oleh
University of Chicago Press, yang memuat berita mengenai
perkembangan-perkembangan antropologi di hampir semua universitas atau pusat
ilmiah terpentig di seluruh dunia.
Dalam edisi tahun1970 jilid 11/3 majalah Current
Anthropology tercantum nama dan alamat dari beribu-ribu ahli antropologi
dari seluruh dunian, lengkap dengan sub-ilmu dan keahlian khusus mereka,
sehingga kita dapat berhubungan dengan mereka secara langsung apabila
perlu. Dalam edisi tahun 1965 jilid 6/5
majalah yang sama, tercantum daftar dari kurang-lebih 600 lembaga, museum, organisasi,
atau perkumpulan antropologi yang tersebar disekitar 30 negara, termasuk
Indonesia. Dalam terbitan XIII tahun 1972, majalah itu memuat suatu daftar
kurang-lebih 200 majalah antropologi yang terbit di 30 negara.
Amerika adalah negara dengan jumlah lembaga, organisasi
dan perkumpulan antropologi yang terbanyak. 3 yang terpenting diantaranya
adalah :
1.
American Anthropolical Association. Perkumpulan ini mengadakan kongres nasional tiap
tahun, tempat para ahli Amerika dapat
melakukan serta mendiskusikan hasil-hasil penelitian mereka masing-masing.
Kecuali itu perkumpulan itu juga menerbitkan majalah ilmiah American
Anthropologist, yang merupakan salah satu majalah antropologi yang
terpenting.
2.
American Association of Physical Antropology, yang
memelihara aktivitas penelitian
antropologi fisik di Amerika, antara lain dengan menerbitkan majalahAmerican
Journal of Physical Anthropology.
3.
Institute of Human Relations, suatu lembaga yang menjadi bagian dari Universitas Yale di Amerika Serikat.
Data dan bahan keterangan etnografis tentang sebagian besar
kebudayaan di dunia (sekarang sudah ada
600 lebih) yang terkumpul sejak tahun 1937, tersusun dalam sistem kartu yang dinamakan Human Relations Area
Files.24
Dua majalah
antropologi lain yang juga sangat penting di Amerika adalah Southwestern
Journal of Anthropology dan Ethnology.
Lembaga-lembaga
antropologi di Inggris sangat penting bagi kemajuan antropologi karena mereka mengasuh berbagai majalah
ternama,yakni:
1.
Royal Anthropological Institute of Great Britain, suatu lembaga yang didirikan
di londen dalam abad ke-19. Majalah yang diterbitkannya adalah Journal Of
The Royal Anthropological Institute,
yang merupakan salah satu di antara tiga
majalah antropologi terpenting di Inggris, dan sebuah majalah lain, yaitu Man.
2. International Africa Institute
adalah lembaga
yang berpusat di Universitas Oxford, dan yang menggiatkan penelitian ilmu-ilmu
sosial di Afria. Majalah ilmiah yan diasuhnya dan yang juga sangat penting bagi
antropologi adalah Africa.
Dalam kalangan ilmuwan antropologi majalah-majalah peting
yang diterbitkan di Australia dan Selandia Baru diasuh oleh ;
1.
Australian National Research Council di Sydney, yang menggiatkan penelitian
antropologi di Australia, Papua Niugini, Melanesia, Polynesia, dan Mikronesia.
Majalah yang diterbitkannya adalah Oceania.
2.
Polynesian Society di Wellington, Selandia Baru, yang mensponsori
penelitian-penelitian dalam lapangan sejarah, filologi, dan antropologi, dan
menerbitkan majalah Journal Of Yhe Polynesian Society.
Jerman,
Austria dan swiss juga memiliki lembaga-lembaga
antropologi yang berjasa membiayai ekspedisi-ekspedisi ilmiah ke
berbagai daerah di muka bumi, dan mengasuh majalah ilmah. lembaga-lembaga itu
adalah ;
1.
Deutsche Gesellschaft Fuer Voelkerkunde di Braunschweig, yang merupakan perkumpulan pusat bagi semua ahli antropologi di Eropa
Tengah. Perkumpulan itu menerbitkan
majalahZeitschrift Fuer Ethnologie.
2.
Frobenius Institut di Frankfurt a.M., yang selama ini telah mebiayai berbagai ekspedisi
ilmiah ke Afrika, Amerika selatan, dan juga Indonesia. Majalah yang di asuhnya
adalah Paideuma; Mitteilungen Zur Kulturkunde.
3.
Anthropos Institut di Freibourg (Swiss), suatu lembaga antropologi yang didirikan oleh
W.Schmidt, seorang ahli antropolgi Australia yang dalam tahun 1942 melarikan
diri ke negara Swiss ketika tentara Nazi Jerman menduduki Austria.
Lembaga
ini menerbitkan majalah antropologi
ternama, Anthropos.
Selain lembaga-lembaga
tersebut di atas, ada beberapa lembaga ilmiah lain yang juga penting, yaitu;
1.
I’Institut d’Ethonologie di Paris.
2.
Miklukho-Maklai Institute of Ethnography di
Rusia.
3.
Institut Nacional De Anthropologie
E Historia di Meksiko.
Di Indonesia pendidan sarjana antropologi di laksanakan di JurusanAntropologi yang tedapat di berbagai universitas, seperti
Universitas SumatraUtara, Universias Andalas, Universias Indonesia, Universitas
Padjajaran,Universitas Gajah Mada, Universitas Udayana, Universitas Khasanudin,
danUniversitas Sam Ratulangi. Universitas Indonesia memilki suatu lembaga
pusatpenelitian antropologi, yang menerbitkan majalah Berita Antropologi.
Kamus
Dan Atlas Antropologi. Suatu hal yang sangat penting adalah kamus yang
memuat istilah-istilah dari semua konsep dan bahan yang dikenal dan dipakai
dalam suatu cabang ilmu pengetahuan. Dalam antropologhi sekarang selain sebuah kamus kecil susnan C.Winick, Dictionary
Of Antropology (1958) telah pula di susun kamus Dictionary Of Anthropology susunan
W.L.Linding dan kamus kamus mengenai
istilah-istilah ilmiah dalam enam bahasa (Inggris,Perancis,Jerman,Spanyol,Jepang,
dan Rusia) yang disusun dibawah redaksi G.Mostny berjudul Multilingual Glossary
Of Antropological Terms. Sejak sekitar 1980 dalam bahasa Indonesia telah
selesai disusun Kamus Istilah Antropologi oleh suatu tim ahli
antropologi dari Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Indonesia.
Seperti
halnya ilmu bumi, antropologi sangat membutuhkan atlas dunia guna mengetahui
lokasi suku-suku bangsa di seluruh dunia. Dalam kepustakaan antropologi memang
ada atlas yang kini sudah menjadi buku antik, susunan G.Gerland, berjudul Atlas
Der Vol Foelkerkunder yang terbit dalam tahun 1892, dan kini sudah menjadi
barang antik dan sangat sulit di peroleh.
Atlas-atlas
yang lebih muda usianya adalah atlas susunan ahli geografi Jerman, H.Bernedzik,
berjudul De Grosse Voelkerkunde , yang terbit dalam tahu 1930.
R.F.Spencer dalam tahun 1956 menerbitkan suatu atlas kecil berjudul An
Ethno-Atlas. Ahli antropologi Indonesia, Junus Melalatoa, sekarang sedang
menyusun suatu ensiklopedia etnik indonesia, dan pengarang sendiri dalam tahun
1968 telah pula menyusun Atlas Ethnografi Sedunia dalam bahsa indonesia.
7.
BACAAN UNTUK MEMPERDALAM PENGERTIAN
Axelrad, S. (1955) “Comments
On Anthropology And The Study Of Complex
Cultures”, dalam :Phychoanalysis
And The social Science. Redaksi Muensterberdan Axelrad. New York: Int.
University Press. Jilid IV: hlm. 29-50.
Clifton, J.A. (1968) Introduction
To Cultural Anthropology: Essays’In The ScopeAnd Methods Of The Science Of Man. Boston: Houghton
Mifflin Company.
Foster, G.M., (1969) Applied
Anthropolgy. Boston: Little, Brown and Company.
Foster, G.M., dan B.G.Anderson
(1978) Medical Anthropology. New York: JohnWiley & Sons.
Gillin, J. (editor) (1955) For A Science Of Sosial Man. New York: MacMillanCompany.
Grinker, J.R. (1936) Towards
A Unified Theory Of Human Behavior. Basic Books Inc.
Harris, M. (1970) The Rise
Of Anthropological Theory: A History Of Theories Of Cultures. New York:
Thomas Y. Crowell Company.
Honigmann,J.J. (1973) Handbook
Of Social And Cultural Anthropology. Chicago: Rand McNally College
Publishing Company.
Hymes, D. (editor) (1965) The
Use Of Computers In Anthropology. The Hague: Mouton & Company.
Kluckhohn, C. (1957) The
Mirror For Man: A Survey Of Human Behavior And Social Attitudes. New York:
Fawcett World Library.
Kroeber, A.L.(editor) (1953) Anthropology
Today: An Enclyclopedic Inventory. Chicago: University Press.
Mair, L.P. (1957) Studies In Applied Anthropology. London
School of Economics, Monographs on Social Anthropology, no.16. London: The
athlone Press.
Mandelbaum, D.G., G.W.Lasker,
dan E.M.Albert (1963) The Teaching Of Anthropology. A.A.S. Memoir,94.
Berkeley: University of California Press.
(1963) Resources For The
Teaching Of Anthropology. A.A.S. Memoir, 95. Berkeley: University of
California Press.
Naroll,R., dan R.Cohen
(editor) (1970) A Handbook Of Method In Cultural Anthropology. New York,
London: Columbia University Press.
Terima kasih atas postingannya yang cukup bermanfaat, semoga Allah SWT membalas dengan pahala berlipat ganda. Amiin dan makin sukses
BalasHapus