Rabu, 20 Januari 2016

ASAS-ASAS DAN RUANG LINGKUP ANTROPOLOGI


ASAS-ASAS DAN RUANG LINGKUP ANTROPOLOGI
  1. FASE-FASE PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI
            Fase pertama (Sebelum 1800). Dengan kedatangan orang Eropa dibenua Afrika, Asia, dan Amerika selama sekitar 4 abad sejak akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, suku-suku bangsa penduduk pribumi berbagai daerah dimuka bumi mulai mendapat pengaruh negara-negara Eropa Barat. Bersamaan dengan itu terbit berbagai macam tulisan hasil buah tangan para musafir, pelaut, pendeta, pegawai agama Nasrani, penerjemah Kitab Injil, maupun para pegawai pemerintah jajahan, berupa buku-buku kisah perjalanan, laporan, dan lain-lain, yang jumlahnya sangat banyak. Dalam buku-buku tersebut kita dapat menjupai sangat banyak pengetahuan berupa deskripsi tentang adat-istiadat, susunan masyarakat, bahasa dan ciri-ciri fiik serta beraneka-warna suku indian, penduduk pribumi benua Amerika. Karena sangat berbeda dengan keadaannya di Eropa, maka bahan deskripsi yang disebut “etnografi” (etmos berarti “bangsa”) itu sangat menarik bagi orang Eropa pada waktu itu. Namun demikian pelukisan-pelukisan yang dibuat pada zaman itu pada umumnya bersifat kabur dan tidak teliti, dan seringkali hanya memperhatikan hal-hal yang tampak aneh bagi mereka. Di samping itu tentu ada tulisan yang baik dan teliti.
            Di kalangan  kaum terpelajar di Eropa Barat kemudian timbul 3 askep yang bertentangan terhadap orang-orang Afrika, Asia, Oseania, dan Indian tersebut, yaitu :
  1. Anggapan bahwa orang-orang tersebut sebenarnya  bukan manusia sungguh-sungguh, melainkan manusia liar keturunan iblis, dan lain-lain, sehinngga timbul istilah-istilah savage dan primitive  yang mengacu kepada bangsa-bangsa pribumi itu.
  2. Pandangan bahwa masyarakat-masyarakat pribumi tersebut merupakan contoh-contoh masyarakat  yang masih murni, yang belum mengenal kejahatan seperti yang ada dalam masyarakat bangsa-bangsa Eropa Barat pada waktu itu.
  3. Pandangan bahwa “keanehan” bangsa-bangsa pribumi itu (adat-istiadatnya, maupun benda-benda kebudayaan) dapat dimanfaatkan untuk dipercontohkan  kepada khalayak ramai di Eropa Barat, sehingga timbul museum-museum yang menggelar benda-benda kebudayaan berbagai bangsa di luar Eropa.
Fase Kedua (Kira-Kira  Pertenngahan Abad ke-19). Integrasi yang sungguh-sungguh baru terlaksana pada pertengahan abad ke-19, dengan terbitnya karangan-karangan yang bahannya tersusun berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat, yaitu: Masyarakat dan kebudayaan manusia telah berevolusi sangat lambat, yakni selama beberapa ribu tahun, dari tingkat-tinngkat yang rendah, dan melalui beberapa tingkat antara sampai pada tinngkat-tingkat yang tertinggi. Bentuk dari masyarakat dan kebudayaan manusia dari tingkat yang paling tinggi itu adalah seperti bentuk masyarakat dan kebudayaan bangsa-bangsa Eropa, semuanya mereka  anggap “primitif” dan lebih rendah, dan merupakan sisa kebudayaan masa purba. Berdsarkan cara berpikir  itulah semua bangsa didunia digolongkan menurut berbagai tingkat evolusi. Ketika sekitar tahun 1860 ada beberapa karangan   yang mengklasifikasikan bahan-bahan  mengenai berbagai kebudayaan didunia  dalam berbagai tingkat evolusi, lahirlah antropologi.
            Fase berikutnya terjadi dengan terbitnya karangan-karangan hasil penelitian mengenai sejarah penyebaran kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa yang juga masih dianggap sebagai sisa-sisa  kebudayaan manusia kuno. Dengan penelitian seperti itu orang berharap memperoleh penegtahuan dengan  penngertian  tentang sejarah penyebaran kebudayaan manusia. Dengan demikian kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam fase kedua dari perkembangan antropologi, ilmu itu bersifat akademis, dan tujuannya adalah sebagai berikut: Mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud mendapatkan pengertian mengenai tingkat-tingkat kuno  dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia dimuka bumi.
            Fase Ketiga (Awal Abad Ke-20). Pada awal abad ke-20, sebagian besar negara penjajah di Eropa berhasil memantapkan kekuasaannya di daerah-daerah jajahan mereka. Sebagai ilmu yang mempelajari bangsa-bangsa bukan-Eropa, antropologi menjadi kian penting bagi bangsa-bangsa Eropa dalam menghadapi bangsa-bangsa yang mereka jajah. Disamping itu mulai ada anggapan bahwa mempelajari bangsa-bangsa bukan-Eropa itu makin penting karena masyarakat bangsa-bangsa Eropa, dan pengertian mengenai masyarakat yang tidak kompleks dapat menambah pengertian tentang masyarak yang kompleks.
            Ilmu itu terutama berkembang dissuatu negara yang palinng luas daerah jajahannya, yaitu inggris, tetapi juga dihampir semua negara kolonial lainnya. Amerika Serikat yang bukan negara kolonial, tetapi yang aneh mengalami berbagai masalah dengan penduduk pribuminya, yaitu suku-suku bangsa Indian, kemudian juga terpengaruh oleh ilmu yang baru itu.
            Dalam fase ketiga ini antropologi menjadi suatu ilmu yang praktis, yang tujuannya adalah mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa diluar Eropa guna kepentingan pemerintah kolonial dan guna mendapat pengertian tentang masyarakat modern yang bersifat kompleks.
            Fase Keempat (Sesudah Kira-Kira 1930). Dalam fase ini antropologi berkembang sangat luas, baik dalam hal ketelitian  bahan pengetahuannya  maupun ketajaman metode-metode ilmiahnya. Disamping itu, ketidaksenangan terhadap kolonialisme dan gejala makin berkurangnya bangsa-bangsa primitif (yakni bangsa-banngsa asli yang terkucil dari pengaruh kebudayaan Eropa-Amerika) setelah Perang Dunia II, menyebabkan bahwa antropologi kemudian seakan-akan kehilangan lapangan, dan terdorong untuk  mengembangkan lapangan-lapangan penelitian dengan pokok dan tujuan yang berbeda. Warisan dari fase-fase perkembangannya yang semula (fase pertama, kedua, dan kketiga), yang berupa bahan etnografi serta berbagai metode ilmiah, tentu tidak dibuang demikian saja, tetapi digunakan sebagai landasan bagi perkembangannya yang baru. Perkembangan itu terutama terjadi diuniversitas-universitas Amerika Serikat, dan setelah tahun 1951 menjadi umum di negara-negara lain, ketika 60 orang tokoh antropologi dari berbagai negara Amerika dan Eropa (termasuk tokoh-tokoh dari Uni Soviet pada waktu itu) mengadakan simposium internasional guna meninnjau serta merumuskan pokok tujuan maupun ruang lingkup antropologi.
            Pokok atau sasaran penelitian  para ahli antropologi sudah sejak  tahun 1930 bukan lagi suku-suku bangsa primitif bukan Eropa lagi, melahirkan telah beralih kepada penduduk pedesaan pada umumnya, baik mengenai keanekaragaman fisiknya, masyarakatnya, maupun kebudayaannya. Juga suku-suku bangsa daerah pedesaan Eropa dan Amerika  (misalnya suku-suku bangsa Scami, Flam, Lapp, Albania, dan Irlandia di Eropa, serta masyarakat Middletown dan Jonesville di Amerika) menjadi sasaran penelitian mereka.
            Antropologi gaya baru ini dalam fase perkembangannya yang keempat ini mempunyai dua  tujuan, tujuan  (1) tujuan akademis dan (2) tujuan  praktis. Tujuan akademisnya adalah untuk  mencapai pengertian tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari  berbagai bentuk fisiknya, masyarakatnya, maupun kebudayaan. Karena dalam kenyataan antropologi umumnya mempelajari masyarakat suku bangsa, maka tujuan praktisnya adalah mempelajari manusia dalam beragam masyarakat suku bangsa guna  membangun masyarakat suku bangsa tersebut.
2. ANTROPOLOGI MASAKINI (IKA)
            Perbedaan-Perbedaan Di Berbagai Pusat Ilmiah.  Uraian mengenai keempat fase perkembangan diatas perlu untuk memperoleh pengertian tentang tujuan dan ruang lingkupnya. Sifatnya yang dapat dikaitkan muda (yaitu hanya sekitar satu setengah abad) menyebabkan bahwa tujuan dan ruang lingkupnya masih menjadi bahan perbedaan dan adanya berbagai aliran. Secara kasar aliran-aliran dalam antropologi dapat digolongkan berdasarkan  universitas tempat ilmu itu berkembang (yaitu terutama di Amerika Serikat, Inggris, Eropa Tengah, Eropa Utara, Rusia, Jepang, dan negara-negara berkembang).
            Di Amerika Serikat serta Meksiko, antropologi telah menggunakan serta mengintegrasikan semua bahan dan metode antropologi fase pertama, kedua, dan ketiga, maupun berbagai spesialisasi yang telah dikembangkan secara khusus guna menda     patkan  pengertian tentang dasar-dasar dari keanekagaraman wujud masyarakat dan kebudayaan manusia yang ada sekarang.  Dengan  demikian, universitas-universitas di Amerika Serikat  merupakan tempat dimana dalam fase keempatnya antropologi telah berkembang paling luas.
            Di Inggris dan negara-negara persemakmuran seperti Australia, antropologi dalam fase ketiga masih dilakukan. Namun dengan hilangnya daerah-daerah jajahan Inggris, sifatnya tentu juga berubah. Pada waktu Papua Niugini dan Kepulauan Melanesia masih merupakan daerah-daerah jajahannya, suku-suku bangsa asli dikawasan tersebut dipelajari guna keperluan pemerintah setempat. Setelah daerah-daerah itu merdeka, berbagai masalah mengenai dasar-dasar masyarakat dan kebudayaan manusia pada umumnya menjadi perhatian para sarjana Inggris. Metode-metode antropologi yang telah dikembangkan di Amerika Serikat kemudian mulai  pula mempengaruhi berbagai lapangan penelitian para ahli antropologi Inggris.
            Di Eropa Tengah, seperti di Jerman, Belanda, Perancis, Austria, dan Swiss, pada awal tahun 1970-an saja antropologi masih bertujuan mempelajari bangsa-bangsa di luar Eropa guna mendapatkan  pengertian tentang sejarah penyebaran kebudayaan umat mmanusia di bumi, sehingga antropologi di neggara-negara tersebut pada waktu itu berada pada fase kedua. Walaupun demikian, generasi muda ahli antropologi di Jerman Barat dan Swiss kini telah banyak menerima pengaruh dari Amerika.

            Di Eropa Utara, yaitu di negara-negara Skandinavia, antropologi sebagian bersifat akademis, seperti halnya di Jerman dan Austria. Mereka juga mempelajari banyak daerah dil luar Eropa, terutama kebudayaan suku0sukuu bangsa Eskimo. Di samping itu mereka juga menggunakan metode antropologi yang dikembangkan di Amerika Serikat.
            Perkembangan antropoologi di Rusia tidak banyak dikenaal, karena negara itu hingga tahun 1960-an sangat tertutup. Walaupun demikian, beberapa tulisan  mengenai perkembangan antropologi di Uni Soviet menunjukan bahwa penelitian antropologi sangat giat dilakukan. Pada waktu antropologi dinegara itu didasarkan pada konsep K. Marx dan F. Engels mengenai tingkat-tingkat evolusi masyarakat, dan hanya dianggap sebagi bagian dari ilmu sejarah, yang mengkhusus kepada soal asal-mula, evolusi, serta penyebaran kebudayaan bangsa-bangsa didunia. Selain bidang teori itu, antropologi di Rusia juga melakukan kegiatan  pengempulan bahan tentang beragam bentuk masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa negara tersebut, serta memamerkannya untuk mengembangkan saling pengertian diantara suku-suku bangsa penduduk negara itu. Selain itu, berbagai buku ikhtisar tentang kebudayaan suku-suku bangsa penduduk pribumi benua-benua lain telah disusun oleh para ahli antropologi Rusia, yang seluruhhnya diberi judul Narody Mira  (“Bangsa-Bangsa Di Dunia”). Dengan demikian ada buku-buku mengenai suku-suku bengsa Afrika, Oseania, Asia dan Asia Tenggara (termasuk indonesia) dalam bahasa Rusia.
            Di negara-negara bekas jajahan Inggris, terutama di India, metode-metode antropologi banyak dipengaruhi oleh berbagai aliran yang berasal dari Inggris. Di India,  antropologi mendapat fungsi yang sangat praktis untuk mendapatkan pengertian mengenai hubungan masyarakatnya yang sangat beragam, dan untuk menjalin hubungan antara berbagai golongan penduduknya. Suatu hal yang sangat menarik adalah bahwa dinegara itu antropolgi dan sosiologi telah menjadi satu dan merupakan suatu ilmmu sosial yang baru. Dalam suatu negara seperti India, masalah nasional dan masalah perkotaan sangat erat kaitannnya dengan masalah-masalah pendesaan.
            Di Indonesia sekarang telah mulai dikembangkan suatu ilmu antropologi yang khas Indonesia. Kita beruntung bahwa dalam menentukan dasar-dasar dari antropologi Indonesia, kita belum terikat oleh suatu tradisi sehingga kita masih dapat memilih serta mengkombinasikan berbagai unsur dari aliran yang paling ssesuai yang telah berkembang di negara-negara lain, dan diselarasskan dengan masalah kemasyarakatan di Indonesia. Konsepsi mengenai batass-bats lapangan penelitian antropologi serta pengintegrasian dari semua metode antropologi dapat kita contoh dari Amerika; penggunaan antropologi sebagai suatu ilmu praktis untuk mengumpulkan data tentang kehidupan masyarakat dan kebudayaan berbagai suku bangsa yang bereda-beda, dan kemudian memamerkannya untuk memeperoleh saling pengertian antar berbagai suku bangsa itu, dapat kita contoh dari Rusia; penggunaan antropologi sebagai ilmu praktis unntuk mengumpulkan data tentang kebudayaan-kebudayaan daerah dan masyarakat pedesaan guna menemukan dasar-dasar bagi suatu kebudayaan nasional dengan kpribadian yang khas dan dapat digunakan untuk membangun masyarakat desa yang modern, dapat kita contoh dari Meksiko; antropologi sebagai ilmu praktis yang bersama dengan sosiologi dapat membantu memecahkan masalah-masalah sosial budaya dan merencanakan pembangunan nasional, dapat kita contoh dari India.
            Perbedaan-Perbedaan Istilah. Sampai sekarang diberbagai negara masih digunakan istilah-istilah yang berbeda-beda, sehingga disini perlu kiranya diterangkan dimana istilah-istilah yang bersangkutan lazim dipakai, dengan artinya masing-masing.
            Ethnography yang diartikan sebagai “pelukisan (deskripsi) tentang bangsa-bangsa”, digunakan secara umum di Eropa Barat untuk menyebut bahan keterangan  yang ada dalam tulisan-tulisan tentang masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa bukan-Eropa maupun untuk metode-metode yang digunakan untuk mengumpulkan dan mengumumkan bahan-bahan tersebut. Sampai sekarang istilah itu masih lazim dipakai untuk menyebut bagian dari antropologi yang bersifat deskriptif.
            Voelkerkkunde dalam bahsa Jerman, atau volkenkunde dalam bahasa Belanda, adalah istilah untuk “ilmu bangsa-bangsa”, dan terutama dipergunakan di Eropa Tengah sampai sekarang.
            Kulturkunde berarti “ilmu kebudayaan”. Istilah ini pernah dipakai sarjana antropologi Jerman L. Frobenius, dalam arti yang sama seperti ethnology di Amerika. Ahli lain yang pernah menggunakannya adalah G.J. Held, yang pernah menjadi guru besar di Universitas Indonesia. Dalam bahasa Indonesia istilah Kulturkunde menjadi “ilmu kebudayaan”, yang sekarang tak pernah digunakan lagi.
            Anthropology atau “ilmu tentang manusia” adalah suatu istilah yang pada awalnya mempunyai makna yang lain, yaitu “ilmu tentang ciri-ciri tubuhh manusia”. Dalam fase ketiga perkembangan antropologi, istilah ini terutama mulai dipakai di Inggris dan Amerika dengan arti yang sama seperti ethnology pada awalnya. Di Inggris, istilah anthropology  kemudian malahan mendesak istilah ethnology, sementara di Amerika athropology mendapat pengertian yang sangat luas karena meliputi bagian-bagian fisik maupun sosial dari “ilmu tentang manusia”. Di Eropa Barat dan Eropa Tengah istilah anthropology hanya di artikan sebagai “ilmu tentang ras-ras manusia dipandang dari ciri-ciri fisiknya”.
            Cultural anthropology akhir-akhir ini terutama digunakan di Amerika, tetapi kemudian digunakan juga di negara-negara lain untuk bagian dari anthropologi yang tidak mempelajari physical anthropology, yaitu yang secara khusus mempelajari tubuh manusia. Universitas Indonesia secara resmi memakai istilah “antropologi budaya” untuk menggantikan istilah G.J. Held, “ilmmu kebudayaan”.
            Social anthropology dipakai di Inggris untuk fase ketiga antropoologi, untuk membedakannya dari ethnology, yang di negara itu dipakai untuk fase-fase pertama dan kedua ilmu itu. Di Amerika, tempat segala macam metode yang saling bertentangan diselaraskan, social anthropology dan athnology merupakan dua sub-bagian dari antropologi, seperti yang akan diuraikan di bawah nanti.


3. ILMU-ILMU BAGIAN DARI ANTROPOLOGI
            Lima Ilmu Bagian. Di universitas-universitas Amerika, tempat antropologi telah mencapai perkembangan yang paling luas, ruang lingkup dan batas lapangan perhatian yang luas itu menyebabkan adanya tidak kurang dari lima masalah penelitian khusu, yaitu :
  1. Masalah sejarah asal dan perkembangan manusia (atau evolusinya) dipandang dari segi biologi;
  2. Masalah sejarah terjadinya berbagai ragam manusia, dipandang dari ciri-ciri tubuhnya;
  3. Masalah sejarah asal, perkembangan, serta penyebaran berbagai macam bahasa di seluruh dunia;
  4. Masalah perkembangan, penyebaran dan terjadinya beragam kebudayaan di dunia;
  5. Masalah mengenai asas-asas kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat-masyarakat suku bangsa di dunia.
            Lapangan-lapangan penelitian yang bermaksud memecahkan kelima masalah tersebut diatas sangat luas sehingga untuk setiap masalah (yang merupakan ilmu bagian dari antropologi) diperlukan ahli-ahli yang khusus dengan penjurusan khusus pula. Dengan demikian pembagian antropologi adalah sebagai berikut:
PaleoantropologiAntropologi fisik
keduanya disebut “antropologi fisik dalam arti luas”

           

Ketiganya disebut “antropologi budaya” atau “antropologi sosial”
Prasejarah        atau “antropologi sosial”

Etnolinguistik Prasejarah Etnologi
 



Paleontropologi adalah ilmu bagian yang meneliti asal-usul atau terjadinya serta evolusi mannusia, yang menggunakan sisa-sisa tubuh yang telah membantu (fosil manusia) yang ditemukan dalam lapisan-lapisan bumi sebagai bahan untuk penelitiannya.
            Antoropologi fisik dalam arti khusus adalah bagian dari antropologi yang mencoba memahami sejarah terjadinya beragam makhluk manusia berdasarkan perbedaan ciri-ciri tubuhnya, dengan bahan penelitian berupa ciri-ciri tubuh yang tampak lahir, atau fenotipik (seperti misalnya warna kulit, warna dan bentuk rambut, indeks tengkorak, bentuk muka, warna mata, bentuk hidung, tinggi dan bentuk tubuh), maupun ciri-ciri tubuh yang “dalam”, atau genotipik (seperti misalnya frekuensi golongan darah). Dengan cara itu manusia dapat dikelompokkan ke dalam berbagai golongan tertentu (yaitu ras) berdasarkan persamaan ciri-ciri tubuh tertentu yang terdapat pada sebagian besar individu. Paham mengenai berbagai ras itu dicapai dengan mengklasifikasikan beragam ciri tubuh manusia itu. Bagian dari antropologi ini seringkali disebut antropologi fisik dalam arti khusu, atau somatologi.
            Ethnolinguistik, yang juga disebut antropologi linguistik, adalah suatu ilmu bagian yang pada awalnya erat berkaitan dengan antropologi. Dari bahan penelitiannya yang berupa datar kata-kata dan deskripsi tentang ciri dan tata bahasa dari beratus-ratus bahasa suku bangsa diberbagai tempat dimuka bumi, maupun bahan kebudayaan suku bangsa berkembang berbagai metode analisa kebudayaan dan metode untuk mennganalisa serta mencatat bahasa-bahasa yang tidak mengenal tulisan. Semua bahan dan metode tersebut sekarang telah terolah dalam ilmu linguistik umum.  Walaupun demikian, ilmu etnolinguistik diberbagai pusat ilmiah didunia masih berkaitan erat, dan bahkan menjadi bagian dari antropologi. Di Indonesia etnolinguistik (yang menjadi bagian  dari linguistik) mempelajari puluhan bahasa yang ada di Nusantara.
            Prasejarah mempelajari sejarah perkembangan dan penyebaran semua kebudayaan  manusia sebelum manusia mengenal tulisan. Dalam ilmu sejarah, perkembangan kebudayaan umat manusia yang dimulai sejak saat munculnya makhluk manusia didunia sekitar 800.000 tahun yang lalu hingga sekarang, dibagi kedalam dua bagian, yaitu (1) sebelum manusia mengenal tulisan, dan (2) setelah manusia mengenal tulisan. Batas antara kedua kurun waktu itu tidak sama diberbagai tempat atau kebudayaan. Kebudayaan Mesir, misalnya, adalah kebudayaan tertua yang mengenal tulisan (yaitu sejak sekitar 4.000 tahun S.M); kebudayaan minoa yang kita dapati bekas-bekasnya di Pulau Kreta; mengenal tulisan sekitar 3.000 tahun S.M; demikian pula kebudayaan Yemdet Nasr yang berlokkasi di Irak Selatan, atau kebudayaan Harapa-Mohenjodaro, yang berlokasi didaerah Sungai Sindu di Pakistan. Sebaliknya, ada kebudayaan yang mengenal tulisan sejak sekitar 100 tahun S.M, sementara banyak pula yang baru mengenal tulisan pada abad ke-20 ini. Suatu bangsa yang tidak mengenal tulisan tentu tidak dapat menyatakan kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan kebudayaan serta masyarakatnya dalam tulisan. Dengan demikian bangsa tersebut tidak dapat meninggalkan sumber-sumber tertulis kepada kita yang mempelajari sejarah perkembangan kebudayaannya. Sebaliknya, suatu bangsa yang telah mengenal tulisan dapat mencatat semua peristiwa dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaannya dalam buku-buku serta dalam tulisan-tulisan lain, dan dengan demikian kita dapat memperoleh sumber-sumber keterangan tertulis mengenai bangsa tersebut. Zaman sebelum suatu bangsa mengenal tulisan dalam ilmu pengetahuan disebut zaman prehistori, atau prasejarah (sebelum sejarah), sedang zaman sesudah suatu bangsa mengenal tulisan disebut zaman histori, atau sejarah. Ilmu yang mempelajari zaman prasejarah adalah sub-ilmu prasejarah, sedang zaman histori dipelajari oleh ilmu sejarah. Bahan penelitian ilmu prsejarah adalah bekas-bekas kebudayaan seperti benda-benda serta alat-alat (artefak) yang tersimpan dalam lapisan-lapisan bumi.
            Sub-ilmu prasejarah seringkali juga dinamakan ilmu arkeologi, namun dengan arti yang berbeda dari arkeologi di Indonesia, dimana arkeologi diartikan sebagai sejarah kebudayaan  dari zaman prasejarah di Indonesia, yang dilanjutkan sampai masa jatuhnya negara-negara Indonesia-Hindu dan lenyapnya kebudayaan Indonesia-Hindu. Ilmu prasejarah di Indonesia masih sangat muda, dan baru dimulai sekitar tahun 1920, dengan penelitian-penelitian para pendekar ilmu tersebut, yaitu A.J.J.T.a. T. van der Hoop dan C.T. van Stein Callenfels. Sekarang ini ilmu prasejarah Indonesia secara resmi menjadi bagian dari ilmu arkeologi Indonesia, dan sebelum pernah dihubungkan dengan  antropologi Indonesia, sehinngga berbeda dengan keadaannya di universitas-universitas negara-negara lain, ilmu prasejarah Indonesia tidak merupakan ilmu bagian dari antropologi.
            Etnologi adalah ilmu bagian yang mempelajari asas-asas manusia, dengan  cara meneliti sejumlah kebudayaan suku bangsa yang tersebar di seluruh dunia. Akhir-akhir ini dalam sub-ilmu etnologi berkembang dua golongan penelitian, yaitu (a) golongan yang memberi perhatian khusus pada bidang diakronik, dan (b) golongan yang lebih memperhatikan bidang sinkronik dari kebudayaan manusia. Nama yang telah mantap bagi kedua jenis penelitian ini belum ada, dan serinngkali kita jumpai istilah ethnology (dalam arti khusus) untuk penelitian-penelitian diakronik, dan social anthropology untuk penelitian-penelitian sinkronik.
            Sejak tahun 1920-an, telah berkembang beberapa ilmu bagian yang baru, yang pada awalnya diterapkan pada pembangunan masyarakat desa, dan berkembang ke masalah ekonomi dan kesehatan rakyat di pedesaan, masalah kependudukan, dan lain-lain, sehingga berkembanglah berbagai spealisasi lain.
            Sejak kira-kira waktu yang bersamaan, di Amerika Serikat, tetapi juga di Inggris, penelitian-penelitian antropologi mulai menggunakan banyak konsep psikologi dalam analisinya, karena timbulnya perhatian terhadap (1) kepribadian bangsa, (2) peranan individu dalam proses perubahan adat-istiadat, dan (3) nilai universal dari konsep-konsep psikologi.
            Masalah mengenai kepribadian bangsa muncul ketika hubungan antarbangsa mulai makin erat, terutama sesudah Perang Dunia I. Sebelumnya, masalah kepribadian bangsa-bangsa di daerah-daerah jajahan juga telah mulai diperhatikan oleh negara-negara Eropa yang bersangkutan, tetapi konsep-konsep serta istilah-istilah dalam karangan-karangan etnografi di zaman itu umumnya kurang cermat dan kasar. Deskripsi yang ditulis oleh orang Belanda mengenai kepribadian suku bangsa Jawa antara lain adalah bahwa orang Jawa pemalas, tidak bergairah dalam melakukan sesuatu hal (Indolent), dan tidak jujur. Selain ciri-ciri kepribadian negatif seperti itu, konsep-konsep yang digunakan juga tidak cermat. Istilah “tidak jujur”, misalnya, bila dilihat dari segi ilmu psikologi tentu tidak memenuhi syarat.
Sadar akan kekurangan ini, beberapa ahli antropologi sekitar tahun 1920 mengupayakan membuat deskripsi mengenai kepribadian bangsa dengan cara yang lebih teliti, dan berupaya mencari tahu mengenai ada atau tidaknya masalah kepribadian bangsa. Dalam kenyataan tentu ada orang Jawa yang tidak malas, yang jujur, yang lincah dan bergairah dalam sesuatu hal, sehingga perlu diketahui bagaimana menentukan ciri suatu bangsa atau suku bangsa, dan sebatas mana terkecualian mengenai kepribadian  umum yang dimiliki individu-individu warga suatu bangsa atau suku bangsa itu mungkin. Untuk mempelajari masalah-masalah itu tentu diperlukan pengetahuan tentang ilmu psikologi dan konsep-konsep serta teori-teori yang dikembangkan ilmu itu.````````
Sekitar tahun 1920 itu, masalah peranan individu dalam proses perubahan adat-istiadat juga mulai banyak dipelajari di Amerika Serikat, dengan timbulnnya perhatian terhadap proses-proses perubahan kebudayaan. Di zaman sebelumnya mereka hanya memperhatikan serta mencatat adat-istiadat serta tingkah laku yang lazim dianut dan  dijalankan oleh warga masyarakat yang menjadi obyek penelitian mereka, sementara tindakan-tindakan individu yang menyimpang dari adat-istiadat mereka abaikan. Kemudian mereka menyadari bahwa justru penyimpangan seperti itulah yang merupakan awal dari suatu proses perubahan kebudayaan. Dengan menerapkan konsep-konsep serta teori-teori psikologi, para ahli antropologi itu dapat memahami segala tinkah laku dan tindakan individu-individu tersebut.
Namun perhatian terhadap bangsa-bangsa bukan-Eropa yang memerlukan pemahaman dalam berbagai konsep dan teori psikologi, akhirnya membuat para ahli antropologi ragu dan mempertanyakan apakah semua konsep dan teori psikologi yang telah dikembangkan itu juga berlaku bagi orang yang hidup diluar lingkungan masyarakat Eropa dan Amerika. Konsep “gejolak batin masa remaja” yang dianggap sebagai suatu gejala yang penting dalam masa pertumbuhan seorang remaja di suatu masyarakat kota di Eropa dan Amerika, misalnya, menurut pengamatan sementara ahli antropologi tidak pernah dialami para remaja dalam masyarakat penduduk Samoa. Oleh karena konsep psikologi tersebut tidak memiliki nilai universal, konsep-konsep dan teori-tori psikologi yang memang lahir dalam masyarakat Eropa dan Amerika dan kemudian mendapat kecaman para ahli antropologi itu, lalu lebih dipertajam.

            Kompleks kajian-kajian antropologi yang menggunakan psikologi sekarang dianggap sebagai suatu sub-ilmu (atau spesialisasi) yang disebut etnopsikologi, antropologi psikologi, atau studi kebudayaan dan kepribadian.

            Spesialisasi Dalam Antropologi. Pengkhususan yang dilakukan dalam penelitian-penelitian terhadap masalah-masalah praktis dalam masyarakat belum lama berkembang. Walaupun hasil-hasil penelitian antropologi sudah lama diterapkan negara-negara Eropa di daerah jajahan-jajahan mereka di Asia, Afrika dan Oseanisa, suatu sub-ilmu antropologi pembangunan masyarakat baru secara sadar dikembangkan sesudah ada ilmu etnopsikologi. Memang, sejak kira-kira tahun 1930, dengan menggunakan metode-metode antropologi, ahli antropologi inggris R. Firth mulai meneliti gejala-gejala ekonomi pedesaan, penumpukan modal, pengerahan tenaga, sistem produksi, serta pemasaran hasil pertanian dan perikanan dilakukan secara lokal di Oseania dan Malaysia. Metode penelitian Firth ini kemudian diikuti oleh para muridnya maupun para ahli antropologi lain, dan dengan demikian telah berkembang spesialisasi antropologi yang pertama, yaitu antropologi ekonomi.
Baru setelah Perang Dunia II muncul berbagai spesialisasi antropoologi lainnya, yang berkembang dalam rangka pembangunan negara-negara berkembang. Pusat-pusat ilmuiah di negara-negara Eropa dan Amerika yang banyak menamakann modal di negara-negara berkembang mulai menaruh perhatian pada proses-proses serta proyek-proyek pembangunan di negara-negara berkembang tersebut. Dengan demikian, banyaklah penelitian mengenai masalah pengumpulan modal lokal, masalah teaga pekerja pribumi, sistem produksi dan pemasaran lokal, dan lain-lain, mendorong bekembangnya sub-ilmu antropologi ekonomi.
            Spesialisasi antropologi lain yang berkembang kemudian adalah antropologi pembangunan yang menggunakan metode-metode, konsep-konsep, dan teori-teori antropolgi untuk mempelajari masalah-masalah yang menyangkut pembangunan masyarakat desa, masalah sikap petani terhadap teknologi baru, dan lain-lain. Dana-dana penelitian yang disediakan badan-badan internasional yang tergabung dalam PBB, seperti UNESCO, FAO dan ILO, telah banyak memberikan kesempatan kepada para ahli ilmu sosial pada umumnya, dan para ahli antropologi khususnya, untuk melakukan penelitian-penelitian bermutu dalam berbagai aspek masalah pembangunan masyarakat desa.
            Masalah pendidikan yang dibanyak negara berkembang juga berada pada taraf perkembangan, erat pula kaitannya dengan pembangunan desa, yang kemudian mendorong berkembangnya antropologi pendidikan.
            Masih dalam rangka pembangunan masyarakat desa, para ahli antropologi sering diminta para dokter ahli kesehatan masyarakat atau dokter ahli gizi untuk membantu mereka dalam hal meneliti atau memberi data mengenai konsepsi dan sikap penduduk desa tentang sakit, kesehatan, duku, obat tradisional, kebiasan dan pantangan makan, dan lain-lain, sehingga timbul spesialisasi antropologi kesehatan.
            Berasama dengan para dokter ahli demografi, para ahli antropologi kesehatan kini juga banyak meneliti serta memecahkan masalah keluarga berencana. Gambaran yang menakutkan mengenai ledakan penduduk dunia dan masalah sosial ekonomi yang akan diakibatkannya, kini menyebabkan banyaknya dana dan kesempatan yang tersedia untuk meneliti masalah kependudukan, sehingga berkembang spesialisasi antropologi kependudukan.
Dalam banyak negara berkembang, pembangunan nasionalnya yang pada tahap-tahap awal memang sangat berorientasi pada pembangunan nasionalnya yang pada tahap-tahap awal memang sangat beriorientasi pada pembangunan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari proses-proses perubahan dan perkembangan politik yang terjadi. Masalah seperti kejadian-kejadian serta gejala-gejala politik dan persaingan maupun kerjasama antara kekuatan-kekuatan dan partai-partai politik dalam negara-negara  berkembang, yang sebenarnya menjadi perhatian para ahli ilmu politik, kemudian tidak dapat dipelajari tanpa memperhatikan latar belakang kebudayaan, sistem nilai dan sistem norma orang-orang yang melaksanakannya. Dengan demikian muncul spesialisasi antropologi lain, yaitu antropologi polotik.
Spesialisasi yang terbaru dalam antropologi adalah sub-ilmu antropologi untuk psikiatri. Di antara berbagai penyakit jiwa yang diobati para dokter psikiater ada yang tidak disebabkan karena ada kerusakan dalam otak atau organisme, melainkan karena tertekannya jiwa dan emosi di penderita, yang menimbulkan pertanyaan mengenai peranan aspek sosial budaya sebagai latar belakang sosial budaya pada penyakit jiwa itulah yang menyebabkan timbulnya antopologi psikiatri.
Munculnya sub-sub-ilmu antropologi tersebut di atas membuka kesempatan berkembangnya profesi-profesi baru bagi para ahli antropologi selain tugas-tugas mengajar dan meneliti, yaitu sebagai konsultan dalam pemerintahan, baik di daerah maupun di pusat, serta dalam pusat-pusat kesehatan tingkat provinsi, maupun dalam klinik-klinik psikiatri.

4.    HUBUNGAN ANTARA  ANTROPOLOGI BUDAYA ATAU SOSIAL DAN SOSIOLOGI (Uni)

Persamaan Dan Perbadaan Antara Kedua Ilmu. Sepintas lalu tampak tidak ada perbedaan antara sub-ilmu antropologi sosial (atau antropologi sinkronik) dan sosiologi. Seperti yang telah kita lihat dalam sub-bab diatas, antropologi sosial berupaya mencari unsur-unsur yang sama di antara beragam masyarakat dan kebudayaan yang ada di dunia, dengan tujuan mencapai pengertian tentang asas-asas kehidupan masyarakat dan kebudayaan pada umumnya, yang memang juga merupakan tujuan sosiologi, dan dengan demikian kedua ilmu memang mempunyai tujuan yang sama. Namun secara lebih khusus ada beberapa perbedaan yang lebih mendasar, yaitu:
1.      Kedua ilmu itu masing-masing mempunyai asal-mula dan sejarah perkembangan yang berbeda;
2.      Perbedaan sejak awal itu menyebabkan pengkhususan kepada pokok dan bahan penelitian dari kedua ilmu itu masing-masing;
3.      Perbedaan sejak awal itu juga telah menyebabkan berkembangnya metode-metode dan masalah-masalah yang khusus pada antropologi budaya maupun sosial dan sosiologi.
Sejarah Perkembangan Sosiologi. Asal-mula dan sejarah perkembangan antropologi telah kita pelajari di atas, dan sebagai perbandingan, sekarang kita akan menguraikan mengenai asal-mula dan perkembangan sosiologi.
Mula-mula sosiologi hanya merupakan bagian dari ilmu filsafat. Dalam menganalisa hal-hal yang ada dalam alam sekelilingnya, para ahli filsafat juga memikirkan masyarakatnya, sehingga juga ada filsafat sosial yang menjadi bagian dari ilmu filsafat. Sejak abad ke-19 itu, sesuai dengan perubahan filsafat dan cara berfikir orang di Eropa Barat, teori-teori dan konsep-konsep filsafat sosial tentu telah berubah pula.
Setelah timmbul krisis-krisis besar dalam kehidupan masyarakat bangsa-bangsa Eropa (seperti revolusi Prancis, revolusi industri, dan lain-lain), kegiatan menganalisa masalah-masalah masyarakat makin digalakkan, sehingga ketika para ahli filsafat seperti H.de Saint-Simon (1760-1825) dan A.Comte (1789-1857) mengumumkan pendapat mereka mengenai sifat positif dari segala cabang ilmu pengetahuan, termasuk ilmu tentang masyarakat (sosiologi), timbul kesadaran akan adanya ilmu yang berdiri sendiri, yaitu sosiologi. Namun ketika sosiologi memisahkan diri sebagai suatu ilmu khusus, pemikiran tentang masyarakat manusia tentang masyarakat manusia yang sebelumnya masih dapat di klasifikasikan sejajar dengan aliran-aliran filsafat yang besar yang ada, menjadi sukar. Perjuangan mengenai dasar, tujuan, dan metode yang digunakan dalam ilmu yang baru itu telah menimbulkan berbagai aliran yang saling bertentangan dan berubah-ubah, yang baru menjadi mantap setelah tahun 1925.
Uraian singkat mengenal perkembangan antropologi, khususnya antropologi budaya atau sosial, dapat dibaca pada halaman 1 di atas. Dari perbandingan mengenai sejarah perkembangan antropologi budaya atau sosial dan sosiologi, tampak bahwa ada perbedaan yang besar diantara kedua ilmu tersebut. Antropologi budaya atau sosial berawal dari himpunan bahan keterangan tentang berbagai masyarakat dan kebudayaan masyarakat pribumi bukan-Eropa, yang menjadi suatu ilmu khusus karena adanya kebutuhan untuk mencapai pengertian tentang tingkat-tingkat awal dari sejarah perkembangan masyarakat dan kebudayaan bangsa-bangsa Eropa Barat itu sendiri. Sebaliknya, sosiologi dimulai sebagai suatu bagian dari ilmu fisafat, yang menjadi suatu ilmu khusus karena masyarakat Eropa yang tengah dilanda krisis memerlukan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai asas-asas dari masyarakat dan kebudayaannya sendiri.
            Pokok-pokok Ilmiah Dari Antropologi Budaya Atau Sosial Dan Sosiologi. Sejarah perkembangan antropologi telah menyebabkan  bahwa sejak awal ilmu itu terutama masih tertuju pada obyek-obyek penelitian dalam masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa bukan-Eropa dan Amerika modern. Sebaliknya, sejarah perkembangan sosiologi menyebabkan bahwa ilmu itu sejak mulanya tetuju pada obyek-obyek penelitian dalam masyarakat dan kebudayaan bangsa-bangsa yang justru hidup dalam lingkungan kebudayaan Eropa Barat dan Amerika modern. Namun dalam fase perkembangannya yang keempat telah kita lihat bahwa para ahli antropologi juga mulai memperhatikan gejala-gejala masyarakat dalam lingkungan kebudayaan Eropa Barat dan Amerika modern tersebut, sedang sejak kira-kira akhir abad ke-19 banyak penelitian sosiologi telah pula mulai mengolah bahan dari masyarakat suku-suku bangsa penduduk pribumi bukan-Eropa.


Antropologi
Antropologi biologi
Antropologi fisik
Antropologi budaya
Prehistori
Etnolinguistik
Etnologi
Antropologi diakronik
(Ethnology)
Antropologi sinkronik
(Social anthropology)
Ethnopsikologi
Antropologi spesialisasi
Antropologi  ekonomi
Antropologi  polotik
Antropologi  kependudukan
Antropologi  kesehatan
Antropologi  kesehatan jiwa
Antropologi  pendidikan
Antropologi  perkotaan
Antropologi  hukum
Antropologi terapan
Paleoantropologi
 



                                                                                                                                             














            Lingkungan masyarakat dan kebudayaan Ero-Amerika itu dapat diselesaikan dalam berbagi kota di Eropa dan Amerika, tetapi juga di berbagai kota di Afrika, Asia, Osenia, dan Amerika Latin, yang menunjukan bahwa daerah-daerah yang makin jauh dari kota makin sedikit terpengaruh unsur-unsur kebudayaan Ero-Amerika. Berdasarkan uraian ini dapat dinyatakan bahwa antropologi sosial terutama mencari obyek penelitiannya dalam masyarakat pedesaan, sementara sosiologi dalam masyarakat perkotaan. Keadaannya padaumumnya memang demikian, walaupun hal itu belum mutlak untuk menentukan perbedaan antara kedua ilmu tersebut, yang disebabkan karena akhir-akhir ini tampak gejala bahwa para ahli antropologi mulai mencari obyeknya dalam masyarakat-masyarakat yang kompleks (yaitu masyarakat perkotaan), dan terutama di Amerika telah berkembang kejujuran baru, yaitu sosiologi pedesaan, yang memperhatikam masalah-masalah pertanian dalam kehidupan kota kecil di negara tersebut.
            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara antropologi dan sosiologi tidak lagi dapat ditentukan berdasarkan perbedaan antara masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, tetapi dalam metode-metode ilmiahnya.
            Metode Ilmiah Antropologi Budaya Atau Sosial  Dan Sosiologi. Antropologi telah mempunyai pengalaman yang lama dalam meneliti kebudayaan suku-suku bangsa penduduk pribumi di Amerika, Asia, Afrika, maupun Osenia. Suku-suku bangsa tersebut umumnya hidup dalam lingkungan masyarakat pedesaan dengan warga yang terbatas jumlahnya, sehingga mereka dapat diteliti secara keseluruhan. Sebaliknya, perhatian sosiologi senantiasa ditujukan pada unsur-unsur atau gejala-gejala khusus dalam masyarakat manusia dengan cara menganalisa kelompok-kelompok sosial yang khusus, atau menganalisa hubunganantarkelompok atau antarindividu, maupun proses-proses yang ada dalam kehidupan suatu masyarakat. Dengan demikian, dalam meneliti suatu masyarakat kota kecil (misalnya Mojokuto di Indonesia, atau Middletown di Amerika Serikat), pendekatan yang dilakukan seorang ahli sosiologi dan seorang ahli antropologi sosial akan berbeda. Seorang ahli sosiologi akan meneliti gejala-gejala atau proses-proses khusus, misalnya perkumpulan gereja, hubungan pemerinntah dengan penduduk gerakan buruh dalam kota, besar atau kecilnya angka kejahatan, kemiskinan di kota, dan lain-lain, tanpa perlu memperhatikan struktur masyarakatnya secara keseluruhan. Sebaliknya seorang ahli antropologi sosial akan berusaha meneliti semua unsur yang ada dalam kehidupan kota yang ditelitinya, walaupun ia hanya akan mengkhusus pada suatu unsur tertentu saja, misalnya kegiatan-kegiatan dalam kehidupan keagamaan, atau kekeluargaan.
             Pengalaman meneliti masyarakat kecil telah memberi kesempatan kepada para ahli antropologi untuk mengembangkan berbagai metode penelitian yang intensif dan mendalam, seperti misalnya berbagai metode wawancara. Sebaliknya, para ahli sosiologi yang biasanya meneliti masyarakat kompleks, lebih banyak menggunakan berbagai metode penelitian yang bersifat meluasa, seperti metode-metode angket, atau kuestioner.
            Para ahli antropologi sudah terbiasa menghadapi beragam kebudayaan yang jumlahnya beribu-ribu di seluruh dunia, sehingga berkembang berbagai metode pengumpulan bahan yang mengkhusus ke dalam (jadi bersifat kualitatif) maupun berbagai metode pengolahan dan analisa komparatif.
            Para ahli sosiologi lebih banyak berpengalaman dalam meneliti gejala masyarakat perkotaan yang kompleks, tetapi kurang memperhatikan keanekaragaman kebudayaan masyarakat yang terdapat di dunia, dan sebagai akibatbya dalam ilmu itu berkembang berbagai metode pengumpulan bahan yang sifatnya meluas-merata, maupun metode-metode pengolahan bahan dan analisa berdasarkan perrhitungan-perhitungan dalam jumlah besar (metode kuantitatif), seperti misalnya metode statistik.
            Di samping kedua kompleks metode yang berbeda itu, pada kedua ilmu itu sekarang juga dilakukan  banyak metode penelitian lain yang pada hakikatnya mempunyai tujuan yang sama . Metode- metode yang digunakan antropologi budaya atau sosial dan sosiologi dengan demikian dapat saling mengisi dalam melaksanakan proyek-proyek penelitian masyarakat yang sama.


4.      HUBUNGAN ANTARA ANTROPOLOGI DAN ILMU-ILMU LAIN (Uni)
Selain dengan ilmu psikologi dan sosiologi, antopologi berikut sub-sub ilmunya yang tercantum pada bagan I, juga mempunyai hubungan timbal-balik dengan ilmu-ilmu lain, seperti misalnya geologi, paleontologi, anatomi, kesehatan masyarakat, psikiatri, linguistik, arkeologi,sejarah, geografi, ekonomi, hukum adat, administrasi, dan politik.
Hubungan Antara Geologi Dan Antropologi. Bantuan ilmu geologi yang mempelajari ciri-ciri dari lapisan bumi beserta perubahan-perubahannya, terutama dibutuhkan oleh sub-ilmu paleoantropologi dan prasejarah, guna menetapkan umur relatif dari fosil-fosil makhluk primat serta fosil-fosil manusia zaman dahulu, dan juga artefak-artefak maupun bekas-bekas kebudayaan hasil galian para ahli arkeologi, untuk menganalisa umur dari lapisan bumi tempat benda-benda itu tersimpan.
            Hubungan Antara Paleontologi Dan Antropologi. Bantuan dari paleontologi sebagai ilmu yang meneliti fosil makhluk-makhluk purba guna merekontruksi proses evolusi yang terjadi pada manusia, tentu sangat diperlukan ilmu paleoantropologi dan prasejarah. Pengertian tentang umur fosil-fosil kera dan manusia, serta umur artefak-artefak yang diperoleh dengan cara menggali, dapat juga dicapai dengan mengetahui umur relatif dari fosil-fosil paleontologi yang di temukan di dekat situs yang bersangkutan.
            Hubungan Antara Ilmu Anatomi Dan Antropologi. Seorang ahli antropologi fisik, baik yang mengkhususkan perhatiannya pada paleoantropologi maupun yang meneliti ciri-ciri ras-ras, sangat memerlukan bantuan ilmu anatomi karena ciri-ciri dari berbagai bagian kerangka manusia, bagian tengkorak, serta ciri-ciri dari bagian tubuh manusia pada umumnya menjadi obyek penelitian yang terpenting bagi seorang ahli antropologi fisik untuk memahami asal-mula serta penyebaran manusia, dan hubungan antara berbagai ras di dunia.
            Hubungan Antara Ilmu Kesehatan Masyarakat Dan Antropologi. Selain yang telah disebutkan di atas, yaitu data mengenai konsepsi dan sikap penduduk desa tentang kesehatan, sakit, dukun, obat-obatan tradisional, kebiasaan serta pantangan makan, dan lain-lain, bagi seorang dokter keseehatan masyarakat yang akan bekerja dan tinggal disuatu kebudayaan yang asing antropologi juga memiliki metode-metode dan cara-cara untuk dapat memahami serta menyesuaikan diri dengan kebudayaan serta adat-istiadat setempat.
            Hubungan Antara Ilmu Psikiatri Dan Antropologi. Hubungan antara psikiatri dan antropologi telah diuraikan diatas, dan merupakan suatu pengluasan dari hubungan antara antro-pologi dan psikologi, yang kemudian mendapat fungsi yang  praktis.
            Hubungan Antara Ilmu Linguistik Dan Antropologi. Ilmu linguistik (atau ilmu bahasa) mula-mula terjadi pada akhir abad ke-18, ketika para ahli mulai menganalisa naskah-naskah klasik dalam bahasa-bahasa Indo-German (yaitu Latin, Yunani, Gotis, Avestis, Sansekerta, dan lain-lain). Sekarang ilmu linguistik telah berkembang menjadi ilmu yang berusaha mengembangkan konsep-konsep danMetode-metode untuk mengupas segala macam bentuk bahasa secara global. Dengan demikian secara cepat dan mudah dapat dicapai suatu pengertian tentang ciri-ciri dasar dari semua bahasa di dunia,
            Diatas telah kita lihat bagaimana antropologi sejak fase-fase awal dari perkembangannya juga mengumpulkan bahan etnografi tentang bahasa pribumi dari beratus-ratus suku bangsa yang ada di muka bumi. Bahan berupa daftar kata-kata, catatan tentang tata bahasa, dan seringkali juga deskripsi lengkap mengenai bahasa-bahasa tadi, dipakai oleh ilmu bagian dari antropologi yang disebut etnolinguistik untuk mengembangkan teori-teori tentang berbagai asas bahasa. Ilmu linguistik klasik pun tidak dapat mengabaikan bahan-bahan maupun metode serta teori-teori yang dikembangkan etnolinguistik. Dibanyak negara, ilmu linguistik dan etnolinguistik memang telah menyatu, walaupun di amerika etnolinguistik seecara resmi masih dipertahankan sebagai bagian dari antropologi.
            Dalam antropologi, untuk pengumpulan bahan etnografi dilapangan diperlukan pengetahuan kilat tentang bahasa penduduk daerah yang didatangi, karena bahsa merupakan alat yang sangat penting dalam melaksanakan penelitian. Bahan tentang kehidupan masyarakat obyek penelitian seseorang ahli antropologi  hanya dapat dengan lancar, dan untuk komunikasi diperlukan bahasa. Apabila bahasa dari penduduk yang bersangkutan belum pernah diteliti oleh orang lain, bahasa tersebut tidak dapat dipelajari sebelumnya dari buku-buku pelajaran, buku-buku tata bahasa, ataupun kamus. Oleh karena itu berbekal pengetahuan mengenai ilmu bahasa, seeorang peneliti menguasai alat untuk dapat menganalisa dan mempelajari suatu bahasa dalam waktu yang relatif singkat.
            Hubungan Antara Arkeologi Dan Antropologi. Arkeologi, atau ilmu sejarah kebudayaan manusia, pada awalnya meneliti seejarah dari kebudayaan-kebudayaan kuno di zaman purba, seperti misalnya kebudayaan Yunani dan Rum Klasik, kebudayaan mesir kuno, kebudayaan mesopotamia, kebudayaan kuno di palestins, dsn lain-lain. DiIndonesia arkeologi antara lain meneliti sejarah negara-negara Indonesia-Hindu antara abad ke-4 dan abad -16Masehi.
            Bahan yang digunakan dalam meneliti kebudayaan-kebudayaan yang tadi menggunakan bekas-bekas bangunan kuno (reruntuhan kuil, istana, bangunan irigasi, piramida, candi, dan lain-lain), dan juga prasasti-prasasti atau buku-buku kuno yang berasal dari kebudayaan-kenudayaan kuno tadi.
            Diatas telah uraikan bahwa antropologi juga meneliti sejarah kebudayaan manusia yang lebih tua, yaitu zaman sebelum manusia mengenal huruf (zaman prasejarah). Penelitian-penelitian itu dilakukan oleh sub-ilmu antropologi yang dinamakan prasejarah (atau prehistori), yang menggunakan sisa-sisa dari benda-benda kebudayaan manusia yang ditemukan dalam lapisan-lapisan bumi sebagai bahan penelitian. Dengan demikian sub-ilmu prasejarah dari antropologi dapat dikatakan memperpanjang jarak waktu dari sejarah kebudayaan manusia dengan bahan-bahan yang lebih tua dari piramida-piramida, candi-candi, dan buku-buku kuno. Demikian pula ilmu arkeologi Indonesia mempelajari zaman candi-candi dan prasasti-prasasti yang tertua yang berasal dari abad ke-4, sementara ilmu prasejarah mempelajari zaman-zaman yang umurnya telah berrpuluh ribu tahun lebih tua, yaitu zaman Neolitik, zaman Paleolitik, dan lain-lain.
            Namun, antropologi dapat juga menyingkapkan tabir mengenai bagian dari kebudayaan suatu bangsa yang tidak dapat dilakukan oleh ilmu-ilmu lain yang meneliti kebudayaan, misalnya ilmu arkeologi. Ilmu arkeologi Indonesia, misalnya, meneliti kebudayaan-kebudayaan kuno dari suatu lapisan sosial yang sangat kecil, yaitu lapisan sosial yang hidup sekitar istana raja-raja yang dimasa lalu membangun candi,menulis prasasti,dan buku-buku kuno. Sebaliknya, antropologi Indonesia dapat menambah pengetahuan kita tentang kebudayaan rakyat jelata yang tinggal di daerah pedesaan.  
            Hubungan Antara Ilmu Sejarah Dan Antropologi. Hubungan ini sebenarnya mirip dengan hubungan antara arkeologi dan antropologi terurai di atas. Untuk menulis sejarah suatu bangsa, antropologi pada awalnya menyediakan bahan prasejarahnya. Demikian juga berbagai masalah dalam historiografi dari sejarah suatu bangsa dapat dipecahkan dengan metode-metode antropologi. Berbagai sumber sejarah, seperti prasati, dokumen, naskah tradisional, dan arsip kuno, seringkali hanya dapat mengungkapkan peristiwa-peristiwa sejarah yang terbatas pada bidang politik saja. Sebaliknya, seluruh latar belakang sosial dari peristiwa-peristiwa politik tidak  hanya dapat diketahui dari sumber-sumber tadi. Konsep-konsep tentang kehidupan masyarakat yang dikembangkan antropologi dan ilmu-ilmu sosial lain dapat memberi pengertian kepada para ahli sejarah untuk mengisi latar belakang suatu peristiwa politik di masa lampau.
            Para ahli antropologi sebaliknya memerlukan sejarah, terutama sejarah dari suku-suku bangsa penduduk daerah yang ditelitinya, untuk memecahkan masalah-masalah yang diakibatkan o.eh pengaruh kebudayaan asing. Dengan demikian pengertian terhadap masalah-masalah itu hanya dapat diperolehnya dengan mengetahui sejarah proses terjadinya pengaruh tadi. Seringkali seorang peneliti antropologi juga masih perlu merekonstruksi sejarah itu, yang memerlukan pengetahuan tentang metode-metodenya.
            Hubungan Antara Geografi Dan Antropologi. Geografi, atau ilmu bumi, mencoba mencapai pengertian tentang alam dunia ini dengan gambaran-gambaran tentang bumi dan ciri-ciri dari segala bentuk hidup yang ada di bumi, seperti flora dan fauna. Salah satunya adalah makhluk manusia yang juga beranekaragam rupa dan sifatnya. Karena antropologi adalah satu-satunya ilmu yang mampu menyelami masalah mengenai keanekaragaman manusia, tentu geografi tidak dapat mengabaikan antropologi.
            Sebaliknya, seorang ahli antropologi juga memerlukan sekedar pengertian tentang   geografi, karena banyak masalah mengenai kebudayaan manusia berkaitan dengan keadaan lingkungan alamnya.
            Hubungan Anatara Ilmu Ekonomi Dan Antropologi. Dalam banyak negara dimana penduduk pedesaannya lebih besar jumlahnya dari pada penduduk kotanya (terutama negara-negara bukan Ero-Amerika), kekuatan, proses, dan hukum-hukum ekonomi yang berlaku dalam kegiatan kehidupan ekonominya sangat di pengaruhi sistem kemasyarakatan, cara berpikir, pandangan, serta sikap hidup warga masyarakat pedesaan tadi. Dalam masyarakat negara-negara serupa iti seorang ahli ekonomi tidak dapatmenggunakan secara sempurna konsep-konsep serta teori-teori tentang kekuatan, proses dan hukum-hukum ekonomi yang dikembangkan dalam masyarakat Ero-Amerika, dalam rangka ekonomi internasional, tetapi harus disertai pengetahuan tentang sistem kemasyarakatan, cara berpikir, pandangan, dan sikap hidup warga masyarakat pedesaan tadi. Dengan demikian apabila ia hendak membangun ekonomi suatu negara serupa itu, ia tentu memerlukan bahan komparatif mengenai sikap  terhadap kerja, kekayaan, maupun sistem gotong–royong ; yakni semua bahan komparatif tentang berbagai unsur dari sistem kemasyarakatan di negara-negara tersebut. Dalam mengumpulkan bahan itu antropologi memang sangat berguna.  
            Hubungan Antara Ilmu Hukum Adat Indonesia Dan Antropologi. Sejak awal timbulnya ilmu hukum adat Indonesia pada permulaan abad ke-20, para ahli telah menyadari pentingnya antropologi sebagai ilmu bantu dalam melakukan penelitian-penelitiannya. Beberapa orang ahli ilmu hukum adat secara nyata telah menggunakan metode-metode antropologi guna menyelami latar belakang kehidupan hukum adat di berbagai daerah di Indoonesia. Antropologi di anggap penting karena hukum adat bukan suatu sistem hukum yang telah diabstraksikan sebagai aturan-aturan dalam buku-buku undang-ndang, melainkan timbul dan hdup langsung dari masalah-masalah perdata yang berasal dari aktivitas masyarakat.
Sebaliknya, antropologi juga memerlukan bantuan ilmu hukum adat Indonesia, karena setiap masyarakat, baik yang sangat sederhana bentuknya, maupun yang telah maju, tentu mampu mempunyai kegiatan-kegiatan yang berfungsi dalam lapangan pengendalian sosial. Salah satunya adalah hukum. Konsepsi dari antropologi yang menganggap hukum hanya sebagai salah satu aktivitas kebudayaan dalam lapangan sistem pengendaliaan sosial itu menyebabkan bahwa seorang ahli antropologi juga harus memiliki pengetahuan umum tentang konsep-konsep hukum pada umumnya.
            Kecuali itu, untuk ilmu antropologi di Indonesia fungsi ilmu hukum adat juga penting, karena antara tahun 1900 dan 1930 lapangan penelitian masyarakat dikuasai oleh ilmu hukum adat, sehingga banyak bahan deskriptif tentang masyarakat dan kebudayaan berbagai suku bangsa di Indonesia hanya ada dalam buku-buku tentang hukum adat. Seorang peneliti antropologi yang ingin mencari bahan tentang adat istiadat, susunan dan organisasi kemasyarakatan, dan lain-lain dari suku-suku bangsa di Indonesia hanya dapaat menemukannya dalam buku-buku hukum adat. Untuk dapat membaca serta memahami isinya, ia tentu wajib memiliki pengetahuan tentap konsep-konsep dan istilah-istilah hukum.
Hubungan Antara Ilmu Administrasi Dan Antropologi. Di Indonesia, ilmu administrasi tentu akan menghadapi masalah-masalah yang sama seperti ilmu ekonomi. Lagi pula, bahan keterangan mengenai masalah-masalah yang berhubungandengan agraria, yang juga merupakan suatu kompleks masalah yang sangat penting dalam ilmu administrasi, antara lain dapat diperoleh dengan penelitian yang menggunakan metode-metode antropologi.
            Hubungan Antara Ilmu Politik Dan Antropologi. Sejak kira-kira tahun 1960, dari hubungan antara kekuatan-kekuatan serta proses-proses politik berbagai negara dengan berbagai sistem pemerintahan, ilmu politik telah melebarkan perhatiannya ke masalah-masalah yang menyangkut latar belakang sosial budaya dari kekuatan –kekuatan politik itu. Hal itu terutama penting apabila ia harus meneliti dan menganalisa kekuatan-kekuatan politik dalam negara-negara yang sedang berkembang di Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Oseania.
            Kalau dalam suatu negara berkembang (misalnya Indonesia) ada suatu partai politik dengan ideologi agama islam, maka semua cara yang dugunakan partai untuk berhubungan, berssaing, atau bekerjasama dengan partai-partai ataukekuatan-kekuatan politik lain di Indonesia, tidak hanya di tentukan oleh norma-norma serta metode perjuangan kepartaian yang lazim, melainkan juga oleh latar belakang, sistem norma, dan adat-istiadat tradisional dari suku bangsa para pemimpin atau anggota partai yang seringkali menyimpang dari ketentuan-ketentuan norma kepartaian dan ideologi islam. Untuk dapat memahami, latar belakang dan adat istiadat tradisional suku-suku bangsa itulah metode analisa antropologi penting bagi seorang ahli ilmu politik, guna mendapat pengertian mengenai tindak-tanduk partai politik yang sedang ditelitinya.
            Dalam mempelajari suatu masyarakat, yang dilakukan untuk menulis suatu deskripsi etnografi, seorang ahli antropologi secara langsung akan berhadapan dengan kekuatan-kekuatan dan proses-proses politik lokal, maupun dengan aktivitas-aktivitas dan cabang-cabang politik nasional. Untuk mengabalisa gejala-gejala itu ia perlu mengetahui konsep-konsep dan teori-teori ilmu politik.
Ilmu Gabungan Mengenai Tingkah Laku Manusia. Dalam zaman krisis dunia sekarang ini, suatu pengertian tentang asas-asas kehidupan serta tingkah laku manusia dirasakan sangat perlu. Tingkah laku dan tindakan manusia tidak hanya diteliti antropologi, melainkan juga oleh berbagai ilmu sosial seperti sosiologi dan psikologi.
            Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan kita lihat bahwa ilmu-ilmu sosial yang bila dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam masih tergolong muda, satu per satu memisahkan diri dari ilmu filsafat, dan kemudian menjadi ilmu-ilmu tersendiri. Dalam perkembangannya lebih lanjut ilmu-ilmu tadi menjadi sedemikian luasnya sehingga mereka pecah lagi ke dalam berbagai sub-ilmu dan kejuruan. Dalam proses pengkhususan itu sub-ilmu dan kejujuran itu kemudian membutakan diri terhadap hasil penelitian lain, dan bahkan juga mencelanya secara destruktif .Untung para ahli segera akan sadar batas-batas kemapuan mereka masing-masing, dan bahwa suatu pengertian yang tulus tentang suatu aspekdari tindakan manusia hanya dapat dicapaidengan  bantuanilmu-ilmu lain. Dengan demikian ilmu-ilmu yang mempelajari berbagai aspek dari tindakan manusia kemudian saling mendekati lagi, dan akhir-akhir ini malahan ada saran-saran untuk membina suatu kerjasama antar disiplin untuk melakukan penelitian tentang tingkah laku manusia secaraterpadu. Di bawahpimpinan ahli antropologi J.Gillin, beberapa orang ahli antropologi, sosiologi, dan psikologi kemudian mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan kerjasama antara ketiga ilmu tadi. Hasil pembicaraan itu diterbitkan dibawah redaksi J.Gillin, berjudul for A Science Of Social Man (1955). Antara tahun 1951 dan 1955, di Institute for Psychosomatic and Psychiatric Research and Training dari Michael Reese Hospital di Amerika Serikat, atas prakarsa beberapa ahli psikologi telah berkumpul beberapa ahli psikologi, psikiatri, biologi, anatomi, zoologi, sosiologi dan antropologi, guna mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan untuk mengembangkan metode-metode untuk mengintegrasikan hasil dari ilmu mereka masing-masing. Hasil diskusi tersebut  diterbitkan sebagai suatu buku berjudul Toward A Unified Theory Of Human Behavior (1956).
5.      METODE ILMIAH DARI ANTROPOLOGI BUDAYA ATAU SOSIAL DAN SOSIOLOGI (laras)
Metode Ilmiah. Metode ilmiah dari suatu cabang  ilmu pengetahuan adalah semua cara yang dapat digunakan dalam ilmu tersebut untuk mencapai suatu kesatuan pengetahuan. Tanpa metode ilmiah, suatu ilmu pengetahuan bukanlah ilmu, melainkan hanya suatu himpunan pengetahuan saja mengenai berbagai gejala alam atau masyarakat, tanpa adanya kesadaran mengenai hubungan antara gejala-gejala yang ada. Kesatuan pengetahuan itu dapat dicapai para ahli dalam ilmu yang bersangkutan melalui tiga tingkat, yaitu: (1) pengumpulan data,                  2) penentuan ciri-ciri umum dan sistem, dan 3) vertifikasi.
Pengumpulan Fakta. Untuk antropologi budaya atau sosial, tingkat ini adalah pengumpulan data mengenai kejadian dan gejala masyarakat dan kebudayaan untuk diolah secara ilmiah. Dalam kenyataan, aktivitas pengumpulan fakta di sini terdiri dari berbagai metode observasi,mencatat, mengolah, dan mendeskripsi fakta-fakta yang terjadi dalam suatu masyarakat  yang hidup.
            Pada umumnya metode-metode pengumpulan fakta dalam ilmu pengetahuan dapat dibagi dalam tiga golongan yang masing-masing mempunyai perbedaan pokok, yaitu (1) penelitian di lapangan, (2) penelitian di laboratorium, dan (3) penelitian perpustakaan. Dalam penelitian di lapangan seorang peneliti harus menunggu saat terjadinya gejala yang menjadi obyek pengamatannya; dalam penelitian di laboratorium gejala itu dapat dibuat atau sengaja diadakan oleh peneliti; dan ddalam penelitian perpustakaan gejala itu harus dicari dari bahan yang ada dalam beratus ribu buku yang beranekaragaman. Kecuali itu, dalam penelitian di lapangan seorang peneliti harus secara langsung melibatkan dirinya dengan obyeknya, sementara dalam penelitian laboratorium dan perpustakaan ia tetap berada di luar, dan tidak melibatkan dirinya secara langsung dengan obyek yang di telitinya.
            Untuk  antropologi budaya atau sosial penelitian dilapangan merupakan cara yang terpenting untuk mengumpulkan fakta-fakta, yang juga perlu ditunjang dengan penelitian perpustakan. Metode metode penelitian di laboraturium, yang bagi ilmu-ilmu alam dan teknologi merupakan metode pengumpulan fakta yang umum, hampir tidak berarti bagi antropologi budaya atau sosial, tetapi merupakan metode yang penting bagi antropologi fisik.
            Dalam penelitian di lapangan seorang peneliti secara langsung berhadapan dengan masyarakat yang ditelitinya untuk mendapatkan keterangan mengenai suatu gejala kehidupan dalam masyarakat yang bersangkutan. Selain dengan cara mengamati obyeknya, sebagian besar bahan keterangan diperolehnya dari para warga masyarakat yang menjadi informannya. Para peniliti antropologi budaya atau sosial umumnya sangat tertarik pada tindakan dan tingkah laku manusia dalam hubungan kelompok-kelompok kecil, yang biasanya tidak melebihi  3.000 orang, yang dipilihnya agar mereka sedapat mungkin diteliti secara khusus dan mendalam mengenai segala aspeknya. Dengan demikian ia terutama menggunakan metode-metode pengumpulan fakta yang bersifat kualitatif,  yaitu terutama metode-metode wawancara dan catatan hasil wawancara.
            Catatan-catatan hasil wawancara yang terkumpul kemudian harus disusun sedemikian rupa sehingga orang lain dapat menggunakan dan mengolahnya menjadi teori-teori tentang asas kebudayaan, atau untuk menambah  pengetahuan seorang peneliti yang juga bermaksud mengunjungi daerah yang bersangkutan. Metode untuk membuat agar catatan hasil wawancara dapat menjadi suatu karangan, adalah dengan terlebih dahulu membuat pernyataan-pernyataan deskriptif dengan cara membuat ringkasan dari bahan yang terkumpul.
            Contoh: Seorang peneliti yang mengamati dan mencatat semua keterangan dalam masyarakat X yang ditelitinya, melihat orang memarahi saudaranya yang lebih muda, yang hanya mendengarkan dan tidak berani membantah. Dari seorang informan si peneliti mengetahui bahwa orang dalam masyarakat tersebut harus lebih dahulu memberi hormat apabila dijalan ia berjumpa dengan saudaranya yang lebih tua. Dari berbagai peristiwa yang diamatinya, dan dari keterangan-keterangan yang diperolehnya, yang semua dicatatnya dan himpunnya, ia membuat suatu pernyataan deskriptif secara edukatif sebagai berikut: “Dalam masyarakat X, orang yang lebih tua berkedudukan lebih tinggi dari pada saudaranya yang lebih muda”.
            Dengan demikian jelas bahwa antara pernyataan deskriptif tersebut di atas dan peristiwa-peristiwa nyata yang tertulis dalam catatannya, telah terjadi suatu jarak yang disebabkan karena si peneliti telah melakukan abstraksi.
            Semua metode yang diguunakan, yaitu sejak  melakukan pengumpulan bahan tentang suatu masyarakat yang hidup, sampai metode untuk mengolah bahan, yang akhirnya menjadi karangan yang dapat dibaca orang lain, merupakan bidang deskriptif dari antropologi yang disebut etnografi.Istilah yang berarti “deskripsi tentang ethnos (suku bangsa) itu, selain mengandung arti seluruh metode antropologi deskriptif, juga berarti bahan tentang kehidupan masyarakat dan kebudayaan suatu daerah, sedang buku etnografi adalah buku yang memuat pelukisan tentang kehidupan suatu masyarakat dan kebudayaan di suatu daerah.

            Sebuah buku pedoman yang biasanya dijadikan pegangan oleh seorang peneliti etnografi adalah Notes And Queries On Anthropology (1951). 21  Sebuah buku pedoman untuk metode antropologi yang terbaru adalah buku yang diredaksi R.Naroll dan R.Cohen, berjudul A Handbook Of Methods In Cultural Anthropology (1970).
            Penentuan Ciri-ciri Umum Dan Sistem. Penentuan ciri-ciri umum serta sistem merupakan suatu tahap dalam cara berpikir ilmiah, yang bertujuan untuk menentukan ciri-ciri umum dan sistem yang digunakan untuk menganalisa fakta-fakta yang telah terkumpul dalam sutu penelitian. Pada tahap ini digunakan metode-metode untuk mencari ciri-ciri yang sama dan umum diantara beragam fakta yang terdapat dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan umat manusia. Proses berpikir pada tahap  ini berlangsung secara induktif, yaitu dari pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa dan fakta-fakta yang nyata, kepada konsep-konsep mengenai ciri-ciri umum yang lebih abstrak.
            Antropologi, yang menggunakan bahan berupa fakta-fakta yang berasal dari sebanyak mungkin masyarakat dan kebudayaan yang berbeda-beda, harus menggunakan berbagai metode komparatif untuk mendapatkan suatu ciri umum, yang biasanya dimulai dengan metode klasifikasi. Dalam menghadapi suatu obyek dengan metode menunjukkan keanekaragaman karena adanya beribu-ribu bentuk yang  berbeda-beda, terlebih dahulu harus berusaha menguasai keanekaragaman itu dengan akalnya; jadi ia harus menciutkannya sedemikian rupa sehingga hanya ada beberapa perbedaan pokok saja.
            Dalam ilmu-ilmu alam, ciri-ciri umum dan sistem dalam fakta-fakta alam ditentukan dengan cara mencari perumusan-perumusan yang menyatakan berbagai hubungan yang mantap antara fakta-fakta tersebut. Hubungan itu biasanya adalah hubungan kovariabel (yaitu, kalau suatu fakta berubah dengan suatu cara tertentu, maka fakta-fakta lain yang berhubungan dengan fakta tersebut juga akan berubah) atau hubungan sebab-akibat (apabila suatu fakta menyebabkan terjadinya, berubahnya, atau hilangnya fakta lain). Perumusan yang menyatakan hubungan-hubungan yang mantap antara berbagaai fakta dalam alam disebut kaidah alam.
            Mengenai kemungkinan adanya kaidah-kaidah tentang tingkah laku manusia dalam kehidupan-kehidupan bermasyarakat masih ada beberapa anggapan yang bertentangan. Ada yang mengatakan bahwa fakta-fakta tingkah laku manusia tidak mungkin dirumuskan ke dalam kaidah-kaidah yang mantap, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa sampai suatu batas tertentu hal itu mungkin.
            Anggapan para ahli yang menolak gagasan mengenai kaidah-kaidah tentang tingkah laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat (yaitu tentang masyarakatdan kebudayaan manusia) didasarkan pada kenyataan bahwa hanya perostiwa dan gejala yang masih terjalin dalam gerak peredaran alam semestalah yang mantap dan dapat berulang kembali dalam ruang dan waktu. Tekanan volume gas selalu akan berimbang terbalik, di mana pun dan kapan pun juga. Logam tetap akan mengembang bila di panaskan, di mana pun dan  di zaman apa pun juga; kera gibbon hidup dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari seekor jantan, seekor betina, dan sebanyak empat sampai lima ekor anaknya; dan susunan keluarga gibbon seperti itu akan dapat kita jumpai  didaerah mana pun dan di zaman apapun jenis keras seperti itu ada. Sebaliknya, manusia adalah suatu makhluk yang pada umumnya telah melepaskan diri dari proses-proses alamiah; karena itu tingkah lakunya tidak berlaku bagi seluruh umat manusia. Tingkah laku individu di suatu lokasi pada suatu saat dalam ruang dan waktu tidak mesti sama di lokasi lain. Bentuk keluarga manusia pun berbeda-beda di berbagai tempat di muka bumi maupun dalam berbagai zaman yang berbeda-beda. Dengan demikian hanya ilmu-ilmu pasti yang meperhatikan gejala-gejala alam yang dapat merumuskan hubungan-hubungan yang mantap antara fakta-fakta alam menjadi kaidah-kaidah alam. Antropologi, yang memperhatikan tingkah laku manusia dalam masyarakat, tidak akan dapat merumuskan kaidah-kaidah tentang hubungan antara kekuatan fakta dan kekuatn yang mendorong kehidupan suatu masyarakat dan kebudayaan. Antropologi hanya dapat mencapai suatu pengertian tentang kehidupan masyarakat dan kebudayaan itu.
            Dalam abad ke-19 pernah ada ahli-ahli yang menganut anggapan bahwa ilmu-ilmu sosial dapat merumuskan kaidah-kaidah mengenai semua gejala kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia, namun anggapan seperti itu sekarang hampir tidak terdengar dari. Anggapan yang lazim sekarang berada di tengah-tengah kedua anggapan yang ekstrem tersebut. Dalam dunia ilmiah sekarang orang beranggapan bahwa karena gejala-gejala alam masih berjalin erat dengan proses-proses kehidupan alam, maka hubungan atau fakta-fakta yang dapat dirumuskan ke dalam kaidah-kaidah alam sangat luas, walaupun hal ini tidak berarti bahwa semua gejala alam dapat dipahami melalui kaidaah-kaidah. Sebaliknya, apabila gejala-gejala itu telah terpisa dari proses-proses alamiah, maka fakta-fakta yang dapat dirumuskan ke dalam kaidah-kaidah memang lebih sedikit jumlahnya. Walaupun demikian, kiranya tidak betul pula untuk mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial yang mempelajari gejala-gejala yang tersebut berakhir, sama sekali tidak dapat sampai pada taraf perumusan kaidah-kaidah mengenai hubungan antara fakta sosial budaya dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan. Dalam antropologi dan ilmu-ilmu sosial pada umumnya, sebagian besar pengetahuannya bersifat pengertian mengenai kehidupan masyarakat dan kebudayaan, di samping pengetahuan yang berupa kaidah-kaidah sosial budaya.  
            Verifikasi. Metode-metode yang digunakan untuk melakukan verifikasi dilakukan dalam kenyataan alam atau dalam masyarakat yang hidup, terhadap kaidah-kaidah yang telah dirumuskan atau kaidah-kaidah yang dimaksudkan untuk memperkuat  suatu pengertian yang telah ada. Dalam melakukan pengujian, proses berpikirnya dilakukan secara deduktif, yaitu dari perumusan umum ke fakta-fakta yang ada. Pengetahuan dalam antropologi yang lebih banyak berdasarkan pengertian dari pada kaidah, menggunakan metode-metode verifikasi yang bersifat kualitatif, yang dimaksudkan untuk memperkuat pengertian dengan cara menerapkannya secara rinci pada kenyataan, yaitu pada beberapa masyarakat yang ada.
            Pada metode-metode kuantitatif verifikasi dilakukan dengan cara mengumpulkan sebanyak mungkin fakta dari kejadian-kejadian dan gejala-gejala sosial budaya yang sama atau menunjukkan persamaan yang mendasar, yang disebut metode statistik. Metode yang sekarang sangat penting bagi antropologi ini dulu memang jarang digunakan.








6.      TENAGA AHLI, LEMBAGA, MAJALAH DAN PRASARANA ANTROPOLOGI (ika)
            Kehidupan Ilmiah. Suatu cabang ilmu pengetahuan dapat dikatakan “hidup” apabila para ahli dalam bidang ilmu pengetahuan tersebut melakukan kegiatan-kegiatan penelitian untuk memecahkan berbagai macam masalah di bidang itu.
Karena suatu penelitian biasanya memerlukan pendanaan yang besar, maka untuk menyokong kegiatan-kegiatan penelitian itu diperlukan kehadiran badan-badan yang dapat menopang kegiatan-kegiatan itu, yaitu perguruan-perguruan tinggi dan yayasan-yayasan. Disamping tugas mengajar, perguruan tinggi juga harus mengembangkan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang dicakupnya. Namun karena tugasnya sangat luas, perkembangan-perkembangan dari cabang ilmu pengetahuan tersebut pada umumnya sebagian besar dilakukan oleh lembaga-lembaga dari cabang-cabang ilmu pengetahuan itu masing-masing.
            Tugas lembaga ilmiah yang utama pada umumnya adalah menyelenggarakan pertemuan-pertemuan atau kongres-kongres ilmiah dan menerbitkan majalah ilmiah, di samping membiayai proyek-proyek penelitian. Dalam suatu pertemuan atau kongres pada peneliti berkesempatan untuk bertukar pikiran, sedang majalahilmiah merupakan wadah tempat para peneliti dapat melaporkan hasill penelitian mereka. Dengan adanya masalah ilmiah para ahli lain dapat memeriksa kebenaran hasil-hasil yang dilaporkan, atau menggunakannya sebagai dasar untuk mengembangkan masalah-masalah dan penelitian-penelitian lebih lanjut.
            Para tokoh Antropologi. Dalam fase pertama perkembangannya, antropologi tentu belum memiliki tokoh-tokoh ahli. Namun seperti yang telah diuraikan pada awal buku ini, ketika itu yang ada adalah karangan-karangan mengenai suku-suku bangsa penduduk daerah yang dianggap asing oleh orang  Eropa pada waktu itu, dan merupakan kisah-kisah perjalanan atau pengalaman pribadi para pelaut, para penyiar agama Nasrani, atau para pegawai pemerintah jajahan, ketika mereka berkunjung ke daerah-daerah tersebut.
            Seorang pengarang etnografi kuno golongan musafir adalah A. Bastian, seorang dokter kapal berbangga Jerman yang telah mengunjungi berbagai benua pada awal abad ke-19. Selain catatan-catatan mengenai daerah-daerah tertentu diAfrika Barat, India, Cina, Australia, Kepulauan Oseania, Meksiko, dan Amerika Latin, Bastian juga menulis etnografi mengenai kebudayaan berbagai suku baangsa di Indonesia, yang terdiri dari tiga jilid.
            Pengarang etnografi kuno golongan penyoar agama Nasrani sangat banyak jumlahnya, antara lain pendeta Katolik Perancis J.F.Lafitau, yang pernah bekerja di daerah aliran sungai St. Lawrence di Amerika Utara dan Kanada Timur. Ia adalah penulis buku etnografi klasik (1724) tentang kebudayaan suku-suku bangsa Indian penduduk daerah tersebut.
            Pengarang etnografi kuno golongan ahli eksplorasi adalah N.N.Miklukho-Maklai, seorang pengembara Rusia yang pernah mengunjungi kepulauan Oseania dan Pulau Irian (Irian Jaya dan Papua Niugini).
            Namun pengarang etnografi kuno yang terbanyak jumlahnya adalah pegawai pemerintah jajahan, seperti misalnya T.S.Raffles, yang pernah menjabat sebagai Letnan Gubernur Jenderal di Indonesia dari tahun 1811 hingga 1815, ketika inggris berhasil merebut kepulauan Nusantara dari Negeri Belanda dalam Perang Napoleon. Sebagai kepala pemerintah  jajahan Raffles juga menaruh perhatian yang besar terhadap kebudayaan penduduk pribumi Indonesia, dan telah menulis dua jilid etnografi tentang kebudayaan Jawa yang terbit dalam tahun 1817.
            Para tokoh antropologi dari fase kedua merupakan tokoh-tokoh pendekar ntropologi. Mereka hampir semuanya penganut teori evolusi, khususnya teori evolusi masyarakat, yang pada pertengahan abad ke-19 memang sangat menguasai cara berpikir dunia ilmu pengetahuan di Eropa dan Amerika. Salah seorang adalah L.H. Morgan, pakar hukum Amerika yang bekerja sebagai pengacara untuk membantu kepentingan penduduk pribumi Amerika Timur dalam masalah-masalah yang menyangkut hak tanah. Morgan yang tertarik pada adat-istiadat dan kebudayaan suku bangsa indian, kemudian menulis berbagai buku etnografi dan sebuah karangan teoretis mengenai evolusi masyarakat manusia berdasarkan  data yang dikumpulkannya dengan susunan masyarakat dari berpuluh-puluh suku bangsa lain di dunia, dalam buku berjudul Ancient Society (1877). Teori mengenai tingkat-tingkat evolusi masyarakat manusia kemudian sangat mempengaruhi teori K. Marx mengenai evolusi masyarakat dan tingkat-tingkat perkembangan susunan ekonomi dan sistem kelas sosial.
             Pada waktu itu ada ahli-ahli yang tidak begitu terpengaruh oleh teori evolusi masyarakat, tetapi lebih tertarik pada masalah sejarah asal-mula penyebaran kebudayaan suku-suku bangsa di dunia, 23  salah seorang tokoh aliran ini adalah pakar antropologi bangsa Austria, P.W. Schmidt.
            Tokoh-tokoh antropologi dari fase perkembangan ketiga terutama berasal dari negara-negara yang memiliki daerah jajahan. Di awal buku ini telah diuraikan bahwa antropologi dalam fase perkembangan ini mendapat fungsi yaang sangat praktis, yaitu mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepentingan pemerintah jajahan. Inggris sebagai negara kolonial merupakan yang paling utama di antara negara-negaraa kolonial lainnya, dan karena itu antropologi sangat bermanfaat bagi negara itu. Karena sampai perang dunia II daerah jajahan inggris meliputi hampir seluruh dunia, maka tulisan-tulisan mengenai daerah-daerah jajahan inggris adalah yang terbanyak jumlahnya. Seorang tokoh antropologi Inggris ternama, B. Malinowski telah menulis sejumlah buku antropologi tentang penduduk kepulauan Trobrland, dan M. Fortes banyak menulis tentang kebudayaan suku-suku bangsa afrika barat, khusunya Ghana Utara.
            Tokoh-tokoh dari fase perkembangan keempat antropologi diawali dengan kehadiran F.Boas (1858-1942) dari Amerika Serikat. Boas sebenarnya adalah seorang pakar geografi Jerman yang menjadi warganegara Amerika. Ia dapat kita anggap sebagai tokoh pendekar antropologi yang baru, yaitu ilmu tentang makhluk manusia pada umumnya, yang mempelajari beragam bentuk fisiknya, masyarakatnya, serta kebudayaannya. Seorang tokoh penting lain dalam proses perkembangan sntropologi fase keempat ini adalah A.L.Kroeber, dan sebagai pendekar-pendekar antropologi psikologi (etnopsikologi) dapat kita sebut  para ahli antropologi Ruth Benedict, Margaret Mead, dan R.Linton.
            Seperti telah pula disebutkan diatas, antropologi terapan pada awalnya dimulai dengan penggunaan metode-metode antropologi dalam menganalisa prose-prose ekonomi pada masyarakat pedesaan oleh pakar antropologi Inggris, R.Firth. Ia telah banyak melakukan penelitian di Kepulauan Tikopea (Polynesia) dan Malaysia. Cabang-cabang antropologi terapan lain yang terjadi kemudian juga mempunyai tokoh-tokohnya sendiri-sendiri, seperti yang tertera namanya dalam daftar karangan-karangan pada akhir bab ini.
            Seorang tokoh pendekar antropolgi yang telah mengembangkan teori-teori antropologi sinkronik yang kemudian menjadi sub-ilmu antropologi sosial pada fase ketiga sejarah perkembangannya adalah A.R.Radcliffe-Brown. Ahli antropologi Inggris ini mula-mula mengecap cara kerja antropologi fase kedua yang mempelajari kebudayaan suku bangsa guna memperoleh pengertian tentang sejarah asal-mula serta penyebaran kebudayaan-kebudayaan itu. Walaupun Radcliffe-Brown menyangka bahwa hal itu berguna juga (misalnya untuk permuseuman), ia sendiri berambisi mempelajari kebudayaan dari sebanyak mungkin suku bangsa didunia dan membanding-bandingkannya guna menemukan asas-asas dari kebudayaan serta kaidah-kaidah pokok yang mengatur kehidupan masyarakat manusia. Untuk membedakan ilmu baru yang sedang di kembangkannya dari ilmu antropologi yang lain, Radcliffe-Brown menamakannya antropologi sosial.
            Akhirnya perlu disebutkan juga bahwa antropologi tidak hanya berkembang di Eropa atau Amerika saja. Sebelum Perang Dunia II negara-negara Asia seperti India, Cina, Jepang, dan Meksiko sudah mempunyai ahli-ahli antropologi, dan setelah perang berakhir daerah-daerah tersebut juga memiliki tokoh-tokoh antropologi beberapa diantaranya bahkan menjadi sangat terkenal. M.N. Srinivas dan Sarah Chandra Dube dari India, F.L. Hsu dari Republik Rakyat Cina, Chie Nakane dari Jepang dan K.A. Busia dari Ghana adalah tokoh-tokoh antropologi ternama.
            Lembaga-Lembaga Dan Majalah-Majalah Antropologi. Salah satu majalah antropologi yang terpenting dan diperlukan oleh setiap ahli antropologi adalah majalah Current Anthtropology yang diterbitkan oleh University of Chicago Press, yang memuat berita mengenai perkembangan-perkembangan antropologi di hampir semua universitas atau pusat ilmiah terpentig di seluruh dunia.
            Dalam edisi tahun1970 jilid 11/3 majalah Current Anthropology tercantum nama dan alamat dari beribu-ribu ahli antropologi dari seluruh dunian, lengkap dengan sub-ilmu dan keahlian khusus mereka, sehingga kita dapat berhubungan dengan mereka secara langsung apabila perlu.  Dalam edisi tahun 1965 jilid 6/5 majalah yang sama, tercantum daftar dari kurang-lebih 600 lembaga, museum, organisasi, atau perkumpulan antropologi yang tersebar disekitar 30 negara, termasuk Indonesia. Dalam terbitan XIII tahun 1972, majalah itu memuat suatu daftar kurang-lebih 200 majalah antropologi yang terbit di 30 negara.
            Amerika adalah negara dengan jumlah lembaga, organisasi dan perkumpulan antropologi yang terbanyak. 3 yang terpenting diantaranya adalah :
1.      American Anthropolical Association. Perkumpulan ini mengadakan kongres nasional tiap tahun, tempat para ahli  Amerika dapat melakukan serta mendiskusikan hasil-hasil penelitian mereka masing-masing. Kecuali itu perkumpulan itu juga menerbitkan majalah ilmiah American Anthropologist, yang merupakan salah satu majalah antropologi yang terpenting.
2.      American Association of Physical Antropology, yang memelihara     aktivitas penelitian antropologi fisik di Amerika, antara lain dengan   menerbitkan  majalahAmerican Journal of Physical Anthropology.
3.      Institute of Human Relations, suatu lembaga yang menjadi bagian dari         Universitas Yale di Amerika Serikat. Data dan bahan   keterangan             etnografis tentang sebagian besar kebudayaan di dunia (sekarang sudah          ada 600 lebih) yang terkumpul sejak tahun 1937, tersusun dalam sistem      kartu yang dinamakan Human Relations Area Files.24
Dua majalah antropologi lain yang juga sangat penting di Amerika adalah Southwestern Journal of Anthropology dan Ethnology.
     
Lembaga-lembaga antropologi di Inggris sangat penting bagi kemajuan antropologi  karena mereka mengasuh berbagai majalah ternama,yakni:
1.      Royal Anthropological Institute of Great Britain, suatu lembaga yang didirikan di londen dalam abad ke-19. Majalah yang diterbitkannya adalah Journal Of The  Royal Anthropological Institute, yang  merupakan salah satu di antara tiga majalah antropologi terpenting di Inggris, dan sebuah majalah lain, yaitu Man.
2.      International Africa Institute adalah lembaga yang berpusat di Universitas Oxford, dan yang menggiatkan penelitian ilmu-ilmu sosial di Afria. Majalah ilmiah yan diasuhnya dan yang juga sangat penting bagi antropologi adalah Africa.
                       
Dalam kalangan  ilmuwan antropologi majalah-majalah peting yang diterbitkan di Australia dan Selandia Baru diasuh oleh ;
1.      Australian National Research Council di Sydney, yang menggiatkan penelitian antropologi di Australia, Papua Niugini, Melanesia, Polynesia, dan Mikronesia. Majalah yang diterbitkannya adalah Oceania.
2.      Polynesian Society di Wellington, Selandia Baru, yang mensponsori penelitian-penelitian dalam lapangan sejarah, filologi, dan antropologi, dan menerbitkan  majalah  Journal Of Yhe Polynesian Society.
            Jerman, Austria dan swiss juga memiliki lembaga-lembaga  antropologi yang berjasa membiayai ekspedisi-ekspedisi ilmiah ke berbagai daerah di muka bumi, dan mengasuh majalah ilmah. lembaga-lembaga itu adalah ;
1.      Deutsche Gesellschaft Fuer Voelkerkunde di Braunschweig, yang     merupakan perkumpulan pusat bagi semua ahli antropologi di Eropa Tengah. Perkumpulan itu menerbitkan  majalahZeitschrift Fuer Ethnologie.
2.      Frobenius Institut di Frankfurt a.M., yang selama ini telah mebiayai berbagai ekspedisi ilmiah ke Afrika, Amerika selatan, dan juga Indonesia. Majalah yang di asuhnya adalah Paideuma; Mitteilungen Zur Kulturkunde.
3.      Anthropos Institut di Freibourg (Swiss), suatu lembaga antropologi yang didirikan oleh W.Schmidt, seorang ahli antropolgi Australia yang dalam tahun 1942 melarikan diri ke negara Swiss ketika tentara Nazi Jerman menduduki Austria.
            Lembaga ini menerbitkan  majalah antropologi ternama, Anthropos.
            Selain lembaga-lembaga tersebut di atas, ada beberapa lembaga ilmiah lain yang juga penting, yaitu;
1.      I’Institut d’Ethonologie di Paris.
2.      Miklukho-Maklai Institute of Ethnography di Rusia.
3.      Institut Nacional  De Anthropologie E Historia di Meksiko.

Di Indonesia pendidan  sarjana antropologi di laksanakan  di JurusanAntropologi yang  tedapat di berbagai universitas, seperti Universitas SumatraUtara, Universias Andalas, Universias Indonesia, Universitas Padjajaran,Universitas Gajah Mada, Universitas Udayana, Universitas Khasanudin, danUniversitas Sam Ratulangi. Universitas Indonesia memilki suatu lembaga pusatpenelitian antropologi, yang menerbitkan majalah Berita Antropologi.
            Kamus Dan Atlas Antropologi. Suatu hal yang sangat penting adalah kamus yang memuat istilah-istilah dari semua konsep dan bahan yang dikenal dan dipakai dalam suatu cabang ilmu pengetahuan. Dalam antropologhi sekarang  selain sebuah kamus kecil susnan C.Winick, Dictionary Of Antropology (1958) telah pula di susun kamus  Dictionary Of Anthropology susunan W.L.Linding  dan kamus kamus mengenai istilah-istilah ilmiah dalam enam bahasa (Inggris,Perancis,Jerman,Spanyol,Jepang, dan Rusia) yang disusun dibawah redaksi G.Mostny berjudul Multilingual Glossary Of Antropological Terms. Sejak sekitar 1980 dalam bahasa Indonesia telah selesai disusun Kamus Istilah Antropologi oleh suatu tim ahli antropologi dari Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia.
            Seperti halnya ilmu bumi, antropologi sangat membutuhkan atlas dunia guna mengetahui lokasi suku-suku bangsa di seluruh dunia. Dalam kepustakaan antropologi memang ada atlas yang kini sudah menjadi buku antik, susunan G.Gerland, berjudul Atlas Der Vol Foelkerkunder yang terbit dalam tahun 1892, dan kini sudah menjadi barang antik dan sangat sulit di peroleh.
            Atlas-atlas yang lebih muda usianya adalah atlas susunan ahli geografi Jerman, H.Bernedzik, berjudul De Grosse Voelkerkunde , yang terbit dalam tahu 1930. R.F.Spencer dalam tahun 1956 menerbitkan suatu atlas kecil berjudul An Ethno-Atlas. Ahli antropologi Indonesia, Junus Melalatoa, sekarang sedang menyusun suatu ensiklopedia etnik indonesia, dan pengarang sendiri dalam tahun 1968 telah pula menyusun Atlas Ethnografi Sedunia dalam bahsa indonesia.

7.      BACAAN UNTUK MEMPERDALAM PENGERTIAN
Axelrad, S. (1955) “Comments On Anthropology And The Study Of Complex
Cultures”, dalam :Phychoanalysis And The social Science. Redaksi Muensterberdan Axelrad. New York: Int. University Press. Jilid IV: hlm. 29-50.
Clifton, J.A. (1968) Introduction To Cultural Anthropology: Essays’In The ScopeAnd  Methods Of The Science Of Man. Boston: Houghton Mifflin Company.
Foster, G.M., (1969) Applied Anthropolgy. Boston: Little, Brown and Company.
Foster, G.M., dan B.G.Anderson (1978) Medical Anthropology. New York: JohnWiley & Sons.
Gillin, J. (editor) (1955)  For A Science Of Sosial Man. New York: MacMillanCompany.
Grinker, J.R. (1936) Towards A Unified Theory Of Human Behavior. Basic Books Inc.
Harris, M. (1970) The Rise Of Anthropological Theory: A History Of Theories Of Cultures. New York: Thomas Y. Crowell Company.
Honigmann,J.J. (1973) Handbook Of Social And Cultural Anthropology. Chicago: Rand McNally College Publishing Company.
Hymes, D. (editor) (1965) The Use Of Computers In Anthropology. The Hague: Mouton & Company.
Kluckhohn, C. (1957) The Mirror For Man: A Survey Of Human Behavior And Social Attitudes. New York: Fawcett World Library.
Kroeber, A.L.(editor) (1953) Anthropology Today: An Enclyclopedic Inventory. Chicago: University Press.
Mair, L.P. (1957)  Studies In Applied Anthropology. London School of Economics, Monographs on Social Anthropology, no.16. London: The athlone Press.
Mandelbaum, D.G., G.W.Lasker, dan E.M.Albert (1963) The Teaching Of Anthropology. A.A.S. Memoir,94. Berkeley: University of California Press.
(1963) Resources For The Teaching Of Anthropology. A.A.S. Memoir, 95. Berkeley: University of California Press.
Naroll,R., dan R.Cohen (editor) (1970) A Handbook Of Method In Cultural Anthropology. New York, London: Columbia University Press.

1 komentar:

  1. Terima kasih atas postingannya yang cukup bermanfaat, semoga Allah SWT membalas dengan pahala berlipat ganda. Amiin dan makin sukses

    BalasHapus